Startup Bukan Cuma Cari Cuan, Tapi Juga Selamatkan Lingkungan
Chief Comercial Officer (CCO) Ecoxyztem Andreas Pandu Wirawan mengatakan, hampir semua orang dapat bekerja dengan berbasis peduli terhadap lingkungan dan bumi dengan beragam cara. Menurutnya, masih banyak orang yang ragu dengan isu lingkungan dikarenakan latar belakang pendidikan yang tidak sejalan dengan isunya.
"Misalkan teman-teman mungkin agak ragu, ini isunya anak-anak teknik lingkungan doang, nih. Ini isunya anak-anak kehutanan, nih, padahal enggak," ujar Pandu dalam GreenTalks "Kerja di Startup Juga Bisa Selamatkan Lingkungan!" yang disiarkan di Youtube Katadata, Senin (24/6).
Pandu mengatakan, ecopreneur atau wirausahawan yang menciptakan dan menjual produk atau jasa yang ramah lingkungan dengan berlandaskan prinsip ekonomi lingkungan dan ekologi juga membutuhkan pihak lain atau bidang lain untuk dapat berkembang.
"Teman-teman dari komunikasi untuk mewartakan solusi-solusi ini dengan lebih baik tetap butuh engineer-nya teman-teman teknik yang membuat solusinya. Kemudian ada yang memasarkan dan orang finance untuk membuat perhitungan keuangannya," ujarnya.
Menurut Pandu, dalam kehidupan sehari-hari masih banyak masyarakat yang belum menyadari bahwa dirinya telah ikut berkontribusi dalam menjaga lingkungan dari kenaikan suhu muka bumi dan mengakibatkan bencana alam.
"Teman-teman ini enggak tahu bisa berkontribusi atau enggak. Ujung-ujungnya adalah bagaimana cara kita mengurangi atau mencegah emisi gas rumah kaca supaya menangkal perubahan iklim. Ini yang sebenarnya menjadi tujuan akhirnya," ucapnya.
Ecoxyztem merupakan sandbox yang membantu menjembatani startup di bidang climate technology dengan investor karena kebanyakan startup belum memiliki akses terhadap pendanaan. "Tagline kami enabling entrepreneur to solve climate challenges, kita ingin solusi-solusi dari teman-teman startup itu upscale dan mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia menuju green economy," ujar Pandu.
Sejak berdiri pada 2021, Ecoxyztem telah membantu sekitar 250 startup bidang teknologi iklim dari seluruh Indonesia untuk mendapatkan pendanaan. Pandu bercerita bahwa Ecoxyztem kerap bertemu dengan banyak calon investor, sebagian besar dari Eropa atau Amerika Serikat (AS) yang memarkir dananya di Singapura.
"Mereka tanya di Indonesia peluang climate tech bagaimana? Kita ada ticket size segini, ada yang siap enggak?" tutur Pandu. Ecoxyztem kemudian mencari startup-startup climate tech yang siap untuk menyerap pendanaan tersebut. Ketika menerima pendanaan besar, mereka juga harus bisa mempertanggungjawabkannya karena investor juga mencari cuan dan berharap return dari investasinya.
Salah satu startup yang dibantu oleh Ecoxyztem adalah Waste4Change. Pandu menyebut Waste4Change yang bergerak di bidang pengelolaan sampah itu berdiri pada 2014. Namun, mereka baru menerima investasi pada 2019. Waste4Change sempat harus mencari pinjaman dari bank atau mencari proyek agar bisa survive sebelum akhirnya mereka bertemu dengan Ecoxyztem.
Menurut Pandu, saat ini belum ada startup climate tech yang mencapai skala unicorn alias startup yang memiliki valuasi US$ 1 miliar. Ada satu yang mendekati unicorn, yakni eFishery. Ia berharap di masa yang akan datang akan muncul unicorn atau bahkan decacorn yang berasal dari startup climate tech.