PR untuk Presiden Terpilih: Kebut UU Energi Terbarukan
Presiden Indonesia terpilih 2024 perlu mengebut undang-undang yang memuat tentang transisi energi. Aturan tersebut dibutuhkan untuk mengejar target bauran energi baru terbarukan (EBT) yang saat ini jauh dari target.
Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik 2021-2030 (RUPTL), pemerintah menargetkan porsi EBT dalamEBT nasional bisa mencapai 23% pada 2025. Namun data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan bauran EBT Indonesia baru mencapai 13,09% pada akhir 2023.
“Presiden selanjutnya (Prabowo) harus galakan pembentukan Undang-Undang Energi,” ujar Research Associate Cerah, Sartika Nur Shalati, di Jakarta, Jumat (26/7).
Sartika mengatakan, pemerintahan Jokowi menentukan kebijakan energi di Indonesia dengan masih mengacu pada dua peraturan yang diterbitkan pada masa pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Adapun dua peraturan yang dimaksud adalah UU Nomor 30 Tahun 2007 tentang energi untuk mengatur penyediaan dan pemanfaatan energi secara berkelanjutan, dan peraturan pemerintah nomor 79 tahun 2014 tentang kebijakan energi nasional.
Menurutnya, dengan adanya komitmen Indonesia dalam Paris Agreement maka peraturan tersebut dinilai sudah tidak relevan untuk dijadikan acuan pengembangan energi terbarukan di Indonesia. Selain itu, target iklim di Indonesia juga sudah tertera jelas dalam dokumen National Determined Contribution (NDC) dan sudah ditingkatkan menjadi dokumen Enchanced NDC.
Penghapusan Unsur Baru Dalam RUU EBET
Selain itu, Sartika berharap pemerintah atau DPR perlu menghilangkan unsur energi baru dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru Energi Terbarukan (EBET). Energi baru dinilai bukan solusi energi bersih karena masih menggunakan energi fosil.
"Karena energi baru sendiri kan adalah solusi palsu untuk transisi energi," ujarnya.
Menurutnya, energi baru dan energi terbarukan merupakan dua hal berbeda yang tidak bisa disatukan dalam satu konsep. Energi terbarukan berasal dari alam yang tidak akan habis seperti angin, matahari, dan air.
Sementara energi baru sebenarnya masih menggunakan energi fosil yang kemudian dimodifikasi dengan teknologi. Energi baru tersebut misalnya proyek gasifikasi batubara atau mengubah batubara menjadi gas yang diklaim mampu menekan emisi.
Selain itu, terdapat juga teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon atau Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCS), juga Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS) untuk menangkap emisi yang dihasilkan oleh PLTU.
Dia mengatakan, penggunaan CCUS dan CCS menyebabkan penggunaan energi fosil terus berlanjut. Padahal untuk menekan emisi, penggunaan energi fosil perlu disetop.
"Kenapa ini berbahaya? Karena ini akan meningkatkan penggunaan energi fosil," ujarnya.