Sepakat Terapkan CCS, ASEAN Dinilai Masih Setengah Hati Terapkan Transisi Energi
Institute for Essential Services Reform (IESR) menyoroti keputusan yang dihasilkan pada pertemuan Menteri Energi ASEAN atau ASEAN Minister on Energy Meeting (AMEM) ke-41 di Laos, yang tetap tetap mempertahankan peran batubara dan gas dalam transisi energi melalui penggunaan teknologi penyimpanan dan penangkapan karbon (carbon captured and storage/CCS). Kebijakan terseut mencerminkan sikap setengah hati negara-negara Asia Tenggara dalam melakukan transisi energi.
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, mengatakan ASEAN seharusnya fokus pada upaya mempercepat transisi energi demi memitigasi naiknya suhu bumi akibat emisi dari pembakaran energi fosil.
"Langkah pengembangan energi terbarukan akan berpengaruh signifikan terhadap pencapaian target iklim global, dibandingkan mengandalkan teknologi batubara bersih (Clean Coal Technology/CCT)," ujar Fabby dikutip dari keterangan tertulis, Senin (7/10).
Manajer Program Diplomasi Iklim dan Energi IESR, Arief Rosadi, mengatakan teknologi CCS dan CCUS secara keekonomian masih mahal dengan biaya investasi yang tinggi. Biaya pengoperasiaan CCS akan semakin mahal jika gas yang diproses memiliki konsentrasi CO2 yang rendah.
"Selain itu, teknologi CCS/CCUS belum teruji kehandalannya dalam menurunkan emisi, khususnya di Indonesia," ujar Arief.
Arief menilai, negara di kawasan ASEAN seharusnya memusatkan upayanya untuk mendorong investasi yang tujuannya menurunkan emisi secara signifikan. Hal ini dapat memberikan manfaat ekonomi dalam jangka panjang, seperti dengan pemanfaatan energi terbarukan. Pasalnya, tren penurunan biaya pembangkitan energi terbarukan menunjukkan teknologi energi terbarukan semakin kompetitif.
"Sementara investasi pada CCT justru akan memperpanjang ketergantungan pada energi fosil dan memperbesar risiko aset mangkrak (stranded assets),” ungkapnya.
Temuan IESR mencatat penggunaan CCS memerlukan investasi yang sangat besar, yaitu sekitar US$ 3 miliar untuk mengurangi 25-33 juta ton CO2 dalam kurun waktu 10-15 tahun. Penggunaan CCS akan menghabiskan biaya lebih banyak dengan nilai manfaat (return value) yang minim dalam upaya mengurangi emisi karbon dan mencapai target iklim, jika dibandingkan dengan kapasitas pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara Indonesia yang mencapai 44,6 GigaWatt pada 2022.
Selain itu, biaya CCS enam kali lebih mahal dibandingkan pembangkitan listrik dengan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) yang didukung oleh teknologi penyimpanan energi.
Sementara itu, Koordinator Proyek Transisi Energi Asia Tenggara IESR, Agung Marsallindo, menyoroti terbatasnya keterlibatan masyarakat dalam proses AMEM. Hal ini menyebabkan kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam proses politik regional yang diambil.
Agung mengatakan, IESR mendorong proses AMEM yang lebih terbuka agar keterlibatan publik dapat memantau dan memberikan masukan. Pelibatan masyarakat sipil harus menjadi bagian dari transisi energi yang adil dan inklusif.
"Dimana keputusan-keputusan terkait kebijakan energi di tingkat ASEAN juga harus mengikutsertakan lembaga-lembaga masyarakat sipil independen dan tidak berpihak pada kepentingan geopolitik negara manapun," ujar Agung.
Menurutnya, keputusan politik ini akan berdampak pada masyarakat regional, sehingga partisipasi publik dalam proses ini sangat penting untuk mengedepankan aspek inklusifitas dan berkeadilan dalam transisi energi. Untuk itu, IESR mendorong negara-negara ASEAN untuk lebih proaktif mengembangkan kebijakan dan regulasi yang mendukung energi terbarukan dan infrastruktur yang berkelanjutan.
Selain itu, IESR menekankan pentingnya akses yang luas bagi publik untuk berpartisipasi pada pengambilan keputusan terkait energi di ASEAN.