Kementan Genjot Produktivitas Sawit untuk B50, Tetap Prioritaskan Ekspor CPO
Kementerian Pertanian (Kementan) menanggapi kekhawatiran pengusaha mengenai ekspor CPO yang akan anjlok jika pemerintah mengimplementasikan kewajiban biodiesel B50. Pemerintah tengah menggenjot produktivitas CPO menjadi dua kali lipat sehingga kebutuhan biodiesel dan ekspor sama-sama terpenuhi.
B50 adalah bahan bakar untuk mesin diesel yang diolah dari campuran 50% fosil diesel dan 50% biodiesel dari minyak sawit.
Plt Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, Heru Tri Widarto, mengatakan pemerintah tengah melakukan kajian untuk menemukan formula yang tepat, mencakup aspek finansial dan faktor lainnya.
"Tujuannya adalah untuk menentukan berapa peningkatan produksi CPO yang dibutuhkan tanpa mengganggu ekspor,” kata Heru saat ditemui di Jakarta, Senin (28/10).
Ia mengatakan Program B50 merupakan kerja sama lintas kementerian. Kementan bertanggung jawab pada aspek hulu produksi, sedangkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengelola aspek hilirnya.
Heru menegaskan bahwa ekspor CPO akan tetap menjadi prioritas karena merupakan salah satu komoditas ekspor unggulan Indonesia yang memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian negara. Kementan optimistis potensi peningkatan produksi CPO masih sangat besar.
Saat ini, rata-rata produktivitas sawit masih berada di angka 3 ton per hektare setara CPO. Namun, angka ini masih bisa ditingkatkan menjadi 5-6 ton per hektare melalui upaya intensifikasi dan peremajaan perkebunan sawit.
Ekspor CPO Anjlok
Sebelumnya, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menyampaikan kekhawatiran upaya pemerintah untuk meningkatkan bauran biodiesel menjadi 50 persen atau B50 dapat menurunkan ekspor CPO dan turunannya.
“Dengan B40 saja dengan kondisi ekspor kita saat ini akan turun sekitar 2 juta ton. Kalau kita memaksakan B50, ekspor kita akan turun 6 juta ton,” kata Ketua Umum Gapki Eddy Martono di Jakarta, Selasa (22/10).
Kekhawatiran yang sama juga disampaikan ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Fadhil Hasan. Dalam acara diskusi pada Rabu (23/10), Fadhil mengatakan penurunan ekspor ini berpotensi memicu kenaikan harga CPO di pasar internasional, yang pada akhirnya akan berdampak pada kenaikan harga minyak goreng di dalam negeri.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan ekspor CPO dan turunannya menurun pada September 2024 menjadi 1,49 juta ton dari 1,97 juta ton pada bulan sebelumnya. Sementara itu, harga CPO dan produk turunannya di pasar global mengalami kenaikan pada September 2024, dari 898,90 dolar AS per ton menjadi 932,05 dolar AS per ton.
BPS mencatat nilai ekspor CPO dan produk turunannya secara kumulatif mencapai 1,38 miliar dolar AS pada September 2024.