Katadata: Penanganan Iklim Jangan Hanya Bertahan, Perlu Perkuat Ekonomi Nasional
Indonesia membutuhkan kemampuan adaptasi yang tangguh atau resiliensi dalam menangani krisis iklim di tengah dinamika global yang sangat tinggi serta kompleks. Oleh sebab itu, Indonesia membutuhkan strategi penanganan krisis iklim yang tidak hanya bertahan, melainkan juga memperkuat perekonomian nasional melalui pengembangan ekonomi hijau.
Hal itu ditekankan CEO Katadata, Metta Dharmasaputra, saat membuka Katadata Sustainability Action for the Future Economy (SAFE) 2025 dengan tema Green for Resilience.
Metta mengatakan Katadata SAFE tahun ini mengambil tema resiliensi atau kemampuan untuk beradaptasi karena mencerminkan kondisi dunia yang semakin kompleks, ambigu, dan sarat ketidakpastian. Hal ini merupakan strategi di tengah kondisi VUCA yaitu Volatility (Volatilitas), Uncertainty (Ketidakpastian), Complexity (Kompleksitas), dan Ambiguity (Ambiguitas).
Menurut Metta, dunia saat ini diwarnai oleh perubahan yang sangat dinamis dan begitu cepat. Sejak Donald Trump menjadi Presiden Amerika Serikat, ekonomi dunia dan pasar modal terus diwarnai perubahan yang signifikan.
Dia mengatakan kondisi itu diikuti oleh dinamika yang sangat tinggi di dalam negeri , termasuk dengan maraknya demonstrasi.
"Dinamika ini masih belum berakhir, masih ada pergantian kabinet yang juga mengocok-ngocok kembali dinamika politik sosial ekonomi di negeri kita," ujarnya di Grand Ballroom Kempinski, Hotel Indonesia, Jakarta, Rabu (10/9).
Namun demikian, Metta mengatakan, tantangan terbesar Indonesia adalah krisis iklim. Bappenas memperkirakan kerugian akibat perubahan iklim bisa mencapai Rp 115 triliun.
Data Copernicus Climate Change Service menunjukkan terjadi anomali kenaikan suhu global bulanan dibandingkan era pra industri. Pada awal 2025, suhu bumi telah naik 1,5 derajat.
Oleh sebab itu, Katadata menilai Indonesia membutuhkan strategi penanganan krisis iklim yang tidak hanya bertahan, melainkan juga memperkuat perekonomian nasional melalui pengembangan ekonomi hijau.
“Pertanyaannya, bagaimana transisi hijau bisa menjadi strategi ekonomi nasional, termasuk ekosistem kendaraan listrik, di tengah keterbatasan pembiayaan,” ujar Metta.
Untuk mendorong upaya tersebut, Katadata akan meluncurkan Katadata ESG Index edisi keempat yang kini dilengkapi pilar gender. Indeks ini diperkuat dengan metodologi independen bersama Katadata Insight Center, IBCWE, dan Investing in Women, mencakup 22 indikator mulai dari pengurangan emisi karbon, efisiensi energi dan air, hingga program sosial.
Selain itu, Katadata kembali menggelar Katadata ESG Awards 2025 untuk mengapresiasi perusahaan di delapan sektor industri yang berkomitmen pada prinsip keberlanjutan. Dua penghargaan lain yang diberikan yaitu Katadata Green Initiative Awards (KGIA) 2025 bagi perusahaan dengan praktik ramah lingkungan, dan Katadata Greenovator Awards 2025 bagi tokoh lintas sektor seperti founder startup, ilmuwan, hingga pimpinan organisasi masyarakat sipil yang berkontribusi pada isu lingkungan.
Metta mengatakan hasil dari rangkaian acara ini akan dibawa ke Konferensi Tingkat Tinggi Iklim PBB atau COP30 di Brasil, melalui laporan khusus yang disiapkan tim Katadata.
