Menteri LH: Sektor Energi Tak Akan Capai Puncak Emisi pada 2030
Menteri Lingkungan Hidup (LH) Hanif Faisol Nurofiq mengatakan sektor energi diperkirakan tidak dapat mencapai kondisi puncak emisi pada 2030 sesuai prakiraan. Karena itu, peran sektor kehutanan perlu didorong untuk mencapai penurunan emisi lebih besar.
Dalam pembahasan implementasi MRA antara Sertifikasi Pengurangan Emisi GRK Indonesia (SPEI) dan JCM, Hanif mengatakan, dokumen iklim Second Nationally Determined Contribution (Second NDC), memasukkan prakiraan sektor energi, sebagai salah satu penghasil emisi terbesar. Namun, sektor energi tidak akan mencapai puncak emisi pada 2030 seperti yang ditargetkan dalam dokumen sebelumnya.
"Di dalam dokumen tersebut, sektor energi belum akan mencapai puncaknya di tahun 2030. Sektor energi akan peak (mencapai puncaknya) di tahun 2038. Sementara di dalam skenario kita, puncak emisi total harus jatuh di tahun 2030, tidak ditawar," kata Hanif seperti dikutip Antara, Kamis (18/9).
Karena itu, Hanif menyebut sektor Forestry, Land, and Other Use (FOLU) harus meningkatkan kinerjanya. Sektor FOLU diperkirakan berkontribusi lebih dari 60% untuk menurunkan emisi karbon, mengingat sektor energi belum dapat mencapai kondisi puncak pada 2030.
Di sisi lain, Hanif mengungkapkan, Indonesia memerlukan pendanaan yang berkelanjutan untuk meningkatkan kinerja pengurangan emisi, terutama di sektor FOLU. Sumber pendanaan tersebut tidak dapat hanya berasal dari pendanaan tradisional seperti Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Mendorong Implementasi Nilai Ekonomi Karbon
Untuk itu, implementasi nilai ekonomi karbon lewat perdagangan karbon digenjot untuk memastikan dapat mencapai kondisi Net Zero Emission (NZE) pada 2060 seperti yang ditargetkan pemerintah. Untuk mencapai kondisi tersebut, Indonesia harus mencapai puncak emisi pada 2030.
"Berdasarkan hitungan kami, di dalam Indonesia FOLU Net Sink 2030, itu kita memerlukan dana sampai di angka Rp 400 triliun," kata Hanif.
Angka tersebut lebih kecil dibandingkan pendanaan yang dibutuhkan untuk menekan emisi di sektor energi untuk mencapai kondisi emisi yang dilepaskan sama atau bahkan lebih sedikit dibandingkan yang berhasil ditekan, yaitu mencapai Rp 4.000 triliun.
Untuk itu, pemerintah sudah menyiapkan sejumlah strategi. Misalnya, pemerintah akan membuka pasar karbon domestik dan internasional di Tanah Air yang masuk dalam kategori pasar karbon berdasarkan kepatuhan (compliance carbon market) maupun pasar karbon sukarela (voluntary carbon market).
KLH sebelumnya sudah menandatangani kerja sama dengan beberapa standar karbon global termasuk Gold Standard, Plan Vivo Foundation, dan Global Carbon Council (GCC). Kerja sama ini untuk memastikan karbon Indonesia dapat menjangkau pasar lebih luas, terutama karbon hayati seperti yang berasal dari sektor kehutanan.
