Aktivitas Tambang Ancam Ekosistem Raja Ampat dan Kehidupan Masyarakat
Laporan terbaru dari Auriga Nusantara mengungkapkan ancaman serius dari aktivitas pertambangan di kawasan Raja Ampat, Papua Barat Daya, yang berstatus Geopark Global UNESCO.
Investigasi lapangan dan dokumentasi foto Auriga menunjukkan bahwa lebih dari 22.000 hektare konsesi tambang nikel terus menggerus ekosistem, membahayakan 2.470 hektare terumbu karang, 7.200 hektare tutupan hutan, serta mata pencaharian lebih dari 64.000 masyarakat adat dan lokal.
Raja Ampat, yang dijuluki “Permata Mahkota Keanekaragaman Hayati Laut” berada di jantung Segitiga Karang. Raja Ampat menjadi rumah bagi 75% spesies karang air dangkal dunia, lebih dari 1.600 spesies ikan, dan populasi pari manta karang terbesar.
“Bagi masyarakat Papua dan komunitas lokal, laut dan hutan Raja Ampat bukan hanya sumber pangan, tetapi juga bagian dari identitas budaya serta penopang ekonomi,” kata Peneliti sekaligus Direktur Pertambangan dan Energi di Auriga Nusantara, Ki Bagus Hadikusuma, Kamis (25/9).
Auriga menyoroti sejumlah temuan utama, antara lain:
- Potensi kerusakan masif. Terdapat konsesi pertambangan nikel seluas lebih dari 22.000 hektare di Raja Ampat. Dari total 7.761 hektare hutan alam di dalam pulau kecil berizin tambang nikel, 7.200 hektare atau 92% berada dalam izin tambang nikel. Pada radius 12 mil laut terdapat 6.700 hektare terumbu karang, dan 36% (2.400 hektare) berada di dalam radius 5 km atau berisiko tinggi terdampak pertambangan nikel.
- Peningkatan perluasan area tambang. Area yang ditambang di Raja Ampat pada 2020-2024 meluas tiga kali lebih cepat dibanding periode lima tahun sebelumnya.
- Ancaman terhadap biota laut terancam punah. Ancaman yang ditimbulkan sedimen nikel dan polusi suara akan berdampak terhadap biota laut Pari Manta, termasuk Mobula birostris yang merupakan spesies pari manta terbesar di dunia, lima spesies penyu dilindungi, termasuk Penyu Sisik yang terancam punah, dan biota laut lainnya.
- Marjinalisasi ganda. Lebih dari 64.000 penduduk setempat tidak dilibatkan secara penuh dalam penerbitan izin tambang nikel, sementara mereka menanggung dampak lingkungan yang terjadi.
- Penghancuran mata pencaharian penduduk. Nelayan tradisional menyatakan kebisingan dan getaran dari pertambangan telah mengusir ikan dan lumba-lumba.
- Ketidakjelasan pencabutan izin. Meski Pemerintah Indonesia mengumumkan pencabutan empat izin tambang nikel, hingga saat ini tidak terdapat bukti otentik berupa surat keputusan yang dipublikasi terkait pencabutan izin-izin tersebut. Juga tidak jelas bagaimana dan siapa yang bertanggung jawab terhadap pemulihan lingkungan yang telanjur rusak.
- Adanya celah hukum dalam riwayat pencabutan izin ekstraksi di Indonesia. Pada banyak kejadian pencabutan izin sebelumnya, kerap pemilik izin menggugat pencabutan yang dilakukan pemerintah, dan pengadilan banyak memenangkan gugatan tersebut. Pemerintah diminta menetapkan area-area yang tidak boleh ditambang (No-Go Zones) di Indonesia.
- Ancaman terhadap pariwisata. Praktik pertambangan nikel ini selain mengancam status geopark, juga akan berimbas terhadap pariwisata yang menjadi andalan ekonomi Raja Ampat yang pada 2023 mendatangkan 19.000 wisatawan.
"Investigasi ini menunjukkan aktivitas pertambangan nikel di Raja Ampat menciptakan efek kerusakan berantai, mulai deforestasi, sedimen tambang nikel yang merusak terumbu karang, hingga indikasi berpindahnya biota laut yang menjadi tumpuan kehidupan masyarakat lokal," kata Ketua Auriga Nusantara, Timer Manurung.
Evaluasi Tambang Nikel di Raja Ampat
Pada Juni 2025, pemerintah sempat mengevaluasi tambang di Pulau Gag dan empat lokasi lain. Kala itu, pemerintah mengumumkan pencabutan empat izin usaha pertambangan (IUP), yakni milik PT Anugerah Surya Pratama (ASP), PT Mulia Raymond Perkasa (MRP), PT Kawei Sejahtera Mining (KSM), dan PT Nurham. Hanya PT Gag Nikel yang diperbolehkan beroperasi dengan pengawasan ketat.
Namun, laporan Auriga menyebut hingga kini belum ada bukti pencabutan izin benar-benar berlaku atau adanya rencana pemulihan lingkungan. Bahkan, PT Gag Nikel kembali beroperasi pada 3 September 2025.
“Pemerintah Indonesia semestinya menyadari keuntungan jangka pendek dari pertambangan tidak sebanding dengan manfaat jangka panjang keutuhan ekosistem yang menopang keragaman hayati laut dan ekonomi pariwisata. Kami mendesak pemerintah segera mencabut seluruh izin tambang nikel di Raja Ampat, termasuk PT Gag Nikel di Pulau Gag,” ujarnya.
