Riset Lancet Countdown: Jutaan Orang Meninggal karena Kegagalan Aksi Iklim

Hari Widowati
30 Oktober 2025, 10:42
iklim, perubahan iklim, aksi iklim
ANTARA FOTO/Muhammad Bagus khoirunas/nym.
Warga berjalan di sawah yang mengalami kekeringan di Tambakbaya, Lebak, Banten, Senin (26/8/2024).
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Climate Rights International (CRI) menyebut laporan global terbaru menyimpulkan bahwa kegagalan bertindak dalam menyikapi perubahan iklim membunuh jutaan orang setiap tahun.

Laporan berjudul "The 2025 Report of the Lancet Countdown on Health and Climate Change" menggambarkan dengan jelas bagaimana ketergantungan terhadap bahan bakar fosil dan kegagalan untuk beradaptasi terhadap kenaikan suhu Bumi berdampak pada kesehatan manusia.

The Lancet Countdown, kolaborasi multidisiplin internasional yang menyediakan laporan komprehensif tahunan terhadap bagaiaman perubahan iklim memengaruhi kesehatan manusia, menemukan bahwa dampak iklim termasuk cuaca ekstrem, polusi udara beracun, dan penyebaran penyakit memiliki efek yang tidak terelakkan.

Dampak-dampak ini menggerus perekonomian, mengurangi produktivitas tenaga kerja, membebani sistem kesehatan, dan menelan korban jiwa, serta mengancam pembangunan dan perkembangan kesehatan global yang sudah dicapai selama beberapa dekade terakhir.

“Data-data ini mengonfirmasi apa yang dihadapi komunitas yang ada di ujung tanduk krisis iklim selama bertahun-tahun: kegagalan tindakan terhadap iklim ibarat hukuman mati untuk kalangan yang paling rentan di dunia," ujar Cara Schulte, Peneliti Climate Rights International, dalam siaran pers, Rabu (29/10).

Laporan tersebut menunjukkan 20 indikator utama yang mencakup kesehatan, ekonomi, dan kebijakan. Sebanyak 12 indikator telah mencapai level yang membahayakan karena perubahan iklim. Kematian yang terkait dengan suhu panas meningkat 23% sejak 1990-an, mencapai 546 ribu kematian setiap tahun.

Pada 2024, sebagian besar masyarakat dunia menghadapi risiko tinggi hingga bahaya akibat suhu tinggi yang disebabkan perubahan iklim. Populasi yang paling rentan adalah bayi dan orang lanjut usia (lansia) di saat hari-hari yang panas meningkat sebanyak empat kali lipat dalam 20 tahun terakhir.

Kombinasi gelombang panas dan kekeringan mendorong 124 juta orang dalam masalah kekurangan pangan yang moderat hingga parah pada 2023. Sementara itu, polusi udara akibat kebakaran hutan membunuh 154 ribu orang pada 2024.

Dampak ekonomi akibat perubahan iklim juga tidak kalah besar. Paparan suhu panas saja menyebabkan hilangnya 640 miliar potensi jam kerja pada 2024, setara dengan US$ 1,09 triliun (Rp 31,6 kuadriliun) kerugian dalam produktivitas. Kenaikan suhu menyulitkan para pekerja, termasuk mereka yang bekerja di luar ruangan atau dalam ruangan yang tidak memiliki ventilasi yang baik, untuk bekerja dengan aman.

Laporan Climate Rights International pada Juni 2025 lalu mengenai panas ekstrem dan hak buruh di Bangladesh menggarisbawahi tantangan-tantangan ini, menunjukkan bagaimana kenaikan suhu dan hari-hari dengan cuaca ekstrem meningkatkan ketidakhadiran pekerja atau membuat mereka jatuh sakit, kolaps, bahkan meninggal dunia ketika bekerja.

Pola-pola yang sama muncul di seluruh dunia, tekanan akibat suhu terus menunjukkan ancaman terhadap perekonomian, kehidupan masyarakat, dan hak dasar para pekerja.

Negara-negara Gagal Menggambil Aksi Iklim

Selain tren yang mengkhawatirkan ini, pemerintahan di seluruh dunia gagal mengambil tindakan. Negara-negara seperti Argentina, Hungaria, dan Amerika Serikat (AS) -dalam laporan ini disebut sebagai kontributor terbesar dalam perubahan iklim yang pernah tercatat dalam sejarah- dalam beberapa bulan terakhir justru mundur dari komitmen iklimnya.

Pada 2023, negara-negara di dunia menghabiskan US$ 956 miliar (Rp 15,9 kuadriliun) untuk subsidi bahan bakar minyak (BBM), lebih dari tiga kali dari pendanaan tahunan yang dijanjikan untuk mendukung negara-negara yang rentan terhadap perubahan iklim.

Rusia, Iran, Jepang, Jerman, Arab Saudi, dan Cina masing-masing telah menghabiskan lebih dari US$ 50 miliar (Rp 831,75 triliun) untuk subsidi saja. Lima belas negara, termasuk Iran dan Venezuela, memberikan subsidi BBM yang lebih besar daripada anggaran kesehatan nasional mereka.

“Negara-negara yang paling kuat di dunia memberikan subsidi untuk kesehatan masyarakat dan kedaruratan hak asasi manusia, yakni perubahan iklim," ujar Schulte.

“Alih-alih berinvestasi pada energi bersih dan keberlanjutan, serta solusi jangka panjang, mereka mengucurkan hampir US$ 1 triliun untuk bahan bakar fosil. Dan pilihan itu membunuh masyarakat."

Laporan itu menunjukkan dengan jelas bahwa tren kegagalan pemerintah untuk bertindak terhadap perubahan iklim memiliki dampak yang sangat besar terhadap hak asasi manusia. Kenaikan suhu, kelangkaan makanan, dan kolapsnya sistem kesehatan mengancam hak untuk hidup, kesehatan, makanan, dan standar hidup yang cukup bagi penduduk dunia. Krisis yang saling tumpang-tindih ini menambah kesenjangan yang ada dan meningkatkan risiko pengungsian, konflik, dan kerusuhan sosial.

Penundaan dalam adaptasi, ketidakmampuan untuk memberikan tunjangan finansial, dan penurunan bantuan dari negara-negara kaya membuat ancaman ini semakin intens, menempatkan jutaan orang dalam risiko sosial, ekonomi, dan kesehatan terkait iklim yang lebih besar.

Laporan ini mendesak aksi yang terkoordinasi dan responsif terhadap gender untuk mengurangi kesenjangan kesehatan, menghormati, dan mempromosikan hak-hak dan ilmu pengetahuan mengenai Masyarakat Adat, dan memastikan perlindungan terhadap komunitas yang rentan dan kurang terlayani.

Meskipun skala krisis meningkat, laporan ini juga menemukan adanya perkembangan dan harapan. Dengan tidak adanya kepemimpinan nasional yang memadai, kota-kota di seluruh dunia sedang menilai risiko kesehatan yang terkait dengan perubahan iklim dan mengembangkan rencana adaptasi yang konkret. Antara tahun 2010 dan 2022, diperkirakan 160 ribu kematian prematur dicegah setiap tahunnya melalui pengurangan polusi udara terkait batu bara.

Pembangkitan energi terbarukan tahun lalu mencapai rekor 12% dari listrik global. Data kesehatan semakin banyak digunakan di ruang sidang untuk mendukung litigasi iklim, yang memperkuat fakta kegagalan pemerintah untuk bertindak terhadap perubahan iklim melanggar hak asasi manusia yang fundamental, termasuk hak atas kehidupan, kesehatan, dan budaya. Kemajuan ini menunjukkan urgensi dan potensi perubahan transformatif ketika sains, kebijakan, dan keadilan selaras.

“Di balik setiap angka dalam laporan ini, ada orang-orang yang hak-haknya telah dilanggar. Pemerintah dan perusahaan tahu apa yang perlu dilakukan, dan mereka tahu manfaatnya jauh melampaui iklim saja," kata Schulte. Ia mengajak negara-negara untuk memprioritaskan kesehatan masyarakat di atas kepentingan khusus dan mengambil tindakan untuk melindungi kehidupan, memperkuat komunitas, dan membangun dunia yang lebih adil dan berkelanjutan.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...