Polusi Udara Bahan Bakar Fosil Sebabkan 2,52 Juta Kematian

Hari Widowati
3 November 2025, 15:52
polusi udara, kesehatan, perubahan iklim
ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha/foc.
Petugas Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta menyemprotkan water mist di Jalan TB Simatupang, Jakarta, Jumat (19/9/2025). Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta menyemprotkan 4.000 liter air berbentuk kabut (water mist) di sejumlah titik strategis sebagai upaya menekan polusi udara sekaligus bagian dari rangkaian pra-kegiatan Jakarta Eco Future Fest (JEFF) 2025.
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Polusi udara yang dipicu penggunaan bahan bakar fosil menyebabkan 2,52 juta kematian secara global pada 2022. Laporan "The 2025 report of the Lancet Countdown on health and climate change" menemukan ketergantungan berlebih pada bahan bakar fosil dan kegagalan beradaptasi terhadap perubahan iklim mengakibatkan kerugian bagi kehidupan, kesehatan, dan penghidupan manusia.

Kematian akibat polusi udara hanya salah satu dari 12 indikator yang memburuk, bahkan mencapai rekor baru. Kematian akibat ketergantungan bahan bakar fosil ini mencakup 1 juta kematian akibat pembakaran batu bara global pada 2022, 1,2 juta kematian akibat penggunaan bahan bakar fosil untuk perjalanan darat, serta 740 ribu kematian lantaran sektor kelistrikan masih menggunakan bahan bakar fosil.

"Krisis energi global telah meningkatkan keuntungan bahan bakar fosil dan mendorong ekspansi lebih luas, sehingga risiko perubahan iklim terhadap kesehatan dan kelangsungan hidup manusia telah mencapai tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya," kata Marina Romanello, Direktur Eksekutif The Lancet Countdown, dalam keterangan tertulis, Senin (3/11).

Namun, investasi batu bara masih terus berlanjut setelah disepakatinya Perjanjian Paris. Nilai aset sektor pembangkit listrik tenaga batu bara global yang diproyeksikan terbengkalai pada 2030, meningkat dari US$ 16 miliar (Rp 266,8 triliun) pada 2023 menjadi US$ 22,4 miliar (Rp 373,52 triliun) pada 2024.

Perusahaan minyak dan gas juga terus menggenjot produksi dan diproyeksikan melampaui batasan untuk menjaga suhu bumi 1,5°C. Ekspansi ini menghambat upaya pengurangan gas rumah kaca, menyebabkan kematian terkait polusi udara, dan memperburuk kerugian ekonomi.

Kerugian Ekonomi Akibat Polusi Udara

Laporan Lancet menunjukkan biaya finansial dari kematian akibat polusi udara mencapai US$ 4,85 triliun (Rp 80,87 kuadriliun) pada 2023. Hal ini menggarisbawahi bagaimana degradasi lingkungan berdampak langsung pada kerugian ekonomi. Dampak ini secara tidak proporsional menimpa negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah sehingga memperdalam ketidakadilan global yang ada.

“Menciptakan regulasi dan insentif keuangan yang mendukung pengembangan energi terbarukan yang terjangkau, efisiensi energi, dan penghapusan bahan bakar fosil, adalah langkah penting untuk menjaga risiko iklim agar tetap berada pada tingkat yang masih dapat diadaptasi oleh negara-negara,” ujar Maria Walawender, Peneliti Global Laporan The Lancet Countdown.

Ia menilai langkah ini dapat mengurangi kemiskinan energi dan kerugian ekonomi dari pasar bahan bakar fosil yang fluktuatif, dan menyelamatkan jutaan nyawa melalui udara yang lebih bersih.

Laporan tersebut juga merekomendasikan pengalihan subsidi bahan bakar fosil untuk akses energi terbarukan yang adil, serta promosi kesehatan dan kegiatan lain yang meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Dana subsidi bahan bakar fosil juga dapat dialihkan untuk melindungi kelompok masyarakat rentan dari dampak krisis iklim.

Hingga kini, momentum global aksi iklim telah memberikan manfaat kesehatan dan ekonomi. Peralihan yang semakin besar dari batu bara, terutama di negara-negara kaya, mencegah sekitar 160 ribu kematian dini per tahun pada 2010-2022 akibat polusi udara dari pembakaran bahan bakar fosil.

Transisi energi bersih menghasilkan lapangan kerja yang lebih sehat dan berkelanjutan. Lebih dari 16 juta orang bekerja secara langsung maupun tidak langsung di sektor energi terbarukan pada 2023, naik 18,3% dari 2022.

Menjelang pertemuan komunitas internasional di COP30 di Belem, Brasil, The Lancet Countdown menyerukan pendekatan tegas untuk mempercepat kemajuan mitigasi krisis iklim.

"Negara-negara dengan emisi gas rumah kaca tinggi dan perusahaan-perusahaannya harus segera mengurangi emisi mereka untuk mencegah krisis iklim melampaui kapasitas adaptasi kita,” ujar Marina.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...