Atasi Krisis Iklim, Gen Z Tuntut Dilibatkan dengan Tulus

Hari Widowati
7 November 2025, 16:40
Gen Z, krisis iklim, perubahan iklim
Yayasan Pikul
Puing- puing kapal yang terkena sapuan Siklon Seroja pada April 2021 di Kupang, NTT.
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Generasi Z (Gen Z) mendesak dilibatkan dengan tulus, bermakna, dan strategis dalam ruang-ruang diskusi terkait krisis iklim. Pelibatan generasi muda mutlak dibutuhkan karena mereka akan menanggung konsekuensi jangka panjang dari krisis iklim.

Gen Z juga menuntut redistribusi kekuasaan dan akses, serta pengakuan pemerintah terhadap kapasitas kolektif anak muda yang selama ini kerap dianggap sebelah mata.

Hal itu disampaikan Gen Z dalam diskusi Ruang Publik KBR: "Generasi Z Menagih Tanggung Jawab Iklim" pada 5 November 2025. Diskusi yang disiarkan secara daring itu merupakan bagian dari Diskusi Dua-Mingguan Nexus Tiga Krisis Planet yang diinisiasi Justice Coalition for Our Planet (JustCOP).

"Anak muda punya otoritas untuk menentukan arah kebijakan terkait iklim," ujar Dinah Rida dari KATA Indonesia, yang mewakili Generasi Z di wilayah perkotaan.

Ia menilai redistribusi kekuasaan dan akses yang secara akuntabilitas belum maksimal. Minimnya akuntabilitas ini membuat anak muda kurang terinformasi mengenai serangkaian pendanaan untuk mengatasi krisis iklim.

Dinah juga menilai pemerintah kerap menyamaratakan dampak krisis iklim bagi semua orang muda yang akhirnya melahirkan solusi tak konkret di tempat-tempat yang paling terdampak. "Apa yang dihadapi anak muda di perkotaan itu berbeda dengan teman-teman yang tinggal di pelosok," ujarnya.

Anak Muda di Pelosok Terpinggirkan

Elsy Grasia dari Yayasan Pikul, menilai anak muda di daerah pelosok seringkali terpinggirkan dari proses pengambilan keputusan terkait krisis iklim. Hal itu membuat suara generasi muda di wilayah dengan keterbatasan informasi kian tak terdengar.

Elsy menceritakan dampak Siklon Seroja yang dirasakan hingga sekarang. Badai itu menghantam sebagian besar wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) pada April 2021. Siklon yang kecepatannya mencapai 100 km per jam itu memicu banjir bandang disejumlah pulau kecil NTT, termasuk Pulau Rote, Sabu, dan Lembata.

Sejumlah tanaman lokal yang menjadi sumber pangan, budaya, dan kearifan lokal turut terimbas. Di Kodi, Pulau Sumba, tanaman lokal yang kerap dipakai membangun rumah adat dan dinamai dengan bahasa setempat, juga rusak. "Bila terus terjadi, penyusutan bisa jadi membuat generasi muda melupakan bahasa dan kearifan lokal," kata Elsy.

Sementara itu, di Pulau Timor yang menjadi rumah bagi Kupang, petani dan nelayan muda kehilangan penghidupan sehingga mereka terpaksa beralih ke pekerjaan lain tanpa keahlian memadai.

Elsy menilai kondisi tersebut turut memperlebar ketimpangan serta memperparah kemiskinan struktural di NTT. Kondisi ini kemudian diperparah dengan kebijakan pemerintah yang terus meloloskan proyek yang merampas ruang hidup warga. Ia mencontohkan beberapa kasus perampasan ruang hidup warga NTT, termasuk perluasan proyek geotermal di Poco Leok, Pulau Flores.

Warga menolak proyek itu karena dinilai tak transparan serta mengancam sumber kehidupan mereka.“Pemerintah perlu mengkaji ulang proyek-proyek besar seperti di Poco Leok dan sudah selayaknya mengajak bicara anak muda dan kelompok rentan setempat,” kata Elsy.

Untuk itu, Elsy mendesak pemerintah secara tulus mendengar dan melibatkan kelompok rentan hingga pelosok kampung.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...