Indonesia Bisa Manfaatkan COP30 untuk Raih Pembiayaan PLTS 100 GW
Sejumlah organisasi non-pemerintah (CSO) menilai Indonesia berpeluang memanfaatkan Konferensi Perubahan Iklim PBB COP30 di Brasil untuk mempercepat transisi energi.
Mobilisasi pembiayaan iklim US$ 1,3 triliun (Rp 21.725 triliun, kurs Rp 16.710/US$) per tahun menjadi salah satu target Presidensi Brasil dalam COP30. Ini menjadi momentum bagi Indonesia untuk mendorong pembiayaan transisi energi, termasuk untuk pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) 100 Gigawatt (GW) yang ditargetkan Presiden Prabowo Subianto.
"Mobilisasi pendanaan US$ 1,3 triliun per tahun tidak akan tercapai tanpa penurunan biaya modal di negara berkembang, termasuk Indonesia, yang kini bisa mencapai 8-12%, dua kali lipat negara maju," ujar Tiza Mafira, Direktur Climate Policy Initiative, dalam siaran pers, Sabtu (15/11).
Jika Indonesia tidak bisa menurunkan biaya modal untuk proyek energi bersih, Tiza memprediksi target PLTS 100 GW dari Presiden Prabowo dalam satu dekade akan sulit tercapai.
Laporan World Energy Outlook 2025 dari International Energy Agency (IEA) mengungkapkan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, dapat mencapai kapasitas energi terbarukan hingga 600 GW per tahun pada 2035. Jika kapasitas energi terbarukan itu tercapai, penggunaan energi kotor dari batu bara bisa berkurang signifikan.
Terhambat Biaya Modal Tinggi
Namun, negara-negara berkembang masih kesulitan mendapatkan pembiayaan untuk memenuhi pertumbuhan energi bersih. Biaya modal yang tinggi menyebabkan kenaikan beban pembiayaan, sehingga sulit menghasilkan imbal hasil yang menarik. Khususnya, untuk proyek-proyek energi bersih yang membutuhkan investasi besar di awal.
Menurut Tiza, reformasi tidak hanya perlu dilakukan pada sisi pendanaan, namun juga dari sisi arsitektur kebijakan -mulai dari instrumen penjaminan, insentif fiskal, hingga konsistensi regulasi- di seluruh level.
Dalam Forum COP30 yang digelar di Belem, Brasil, Tiza mengatakan, Pemerintah Indonesia harus meyakinkan investor global bahwa proyek energi terbarukan memiliki kepastian jangka panjang. “Sebab, tanpa langkah ini, kita berisiko menjadi penonton dalam arus investasi global, padahal Indonesia memiliki potensi surya terbesar di Asia Tenggara dan kebutuhan listrik yang terus tumbuh,” ujarnya.
Bhima Yudistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), mengatakan Indonesia perlu merestrukturisasi aliran pendanaan untuk mencapai visi surya 100 GW.
“Dengan biaya modal proyek energi bersih di Indonesia yang dua kali lebih mahal dibanding negara maju, pemerintah harus segera mengalihkan insentif fiskal, memutus arus kredit ke PLTU batu bara, dan menurunkan risiko investasi energi terbarukan," kata Bhima.
Ia menilai integrasi program di perdesaan dan wilayah perbatasan dengan pembangunan PLTS juga mendesak. Tanpa langkah ini, target 100 GW PLTS hanya akan menjadi slogan, bukan game changer pertumbuhan ekonomi.
Menurut Bhima, transisi ke energi hijau harus menjadi fokus yang dijalankan Pemerintah Indonesia. Studi CELIOS terkait ‘Dampak Ekonomi Ekspansi Pembangkit Gas’ mengungkap bahwa mempertahankan energi fosil -baik batu bara maupun gas- justru akan mendorong kerugian ekonomi, kesehatan, dan lingkungan yang dapat mencapai ratusan triliun rupiah dalam jangka panjang.
Ubah Ambisi Jadi Kebijakan Konkret
Sebaliknya, program 100 GW PLTS yang ditargetkan Presiden Prabowo dapat menjadi mesin kesejahteraan berkelanjutan bagi Indonesia. Tata Mustasya, Direktur Eksekutif SUSTAIN, mengatakan forum COP30 dapat menjadi momentum strategis bagi pemerintah untuk menerjemahkan ambisi ini menjadi kebijakan konkret.
Strategi tersebut akan mendorong listrik dengan harga lebih murah sekaligus mengurangi subsidi energi dalam APBN, menciptakan pekerjaan hijau dan kedaulatan energi. Kombinasi antara inovasi pembiayaan dan koordinasi kebijakan menjadi kunci untuk memastikan implementasi berjalan.
“Pembiayaan dapat digerakkan melalui skema alternatif, termasuk pungutan produksi batu bara yang berpotensi menghasilkan hingga Rp 360 triliun dalam empat tahun," kata Tata.
Pungutan ini dapat dipadukan dengan insentif untuk memperluas penggunaan energi surya oleh rumah tangga, industri, dan komersial dan pembangunan industri panel surya dalam negeri dengan menarik investasi domestik dan asing.
"Pengembangan 100 GW energi surya di 80 ribu desa juga akan mendorong transisi energi yang terdesentralisasi dan memperkuat kepemimpinan Indonesia di Global South,” kata Tata.
