Dana Nusantara Soroti Ketidakadilan Akses Pendanaan Iklim bagi Masyarakat Adat
Dana Nusantara menyoroti ketimpangan besar dalam akses pendanaan iklim bagi masyarakat adat dan komunitas lokal meskipun kelompok inilah yang sebenarnya mengelola sebagian besar hutan dan ekosistem kritis di Asia, termasuk Indonesia.
Program Manager Dana Nusantara, Tanti Budi Suryani, mengungkapkan masyarakat adat dan komunitas lokal mengelola sekitar 32% lahan dan hutan yang menjadi ekosistem paling penting dalam mitigasi perubahan iklim. Di tingkat Asia, angka itu bahkan mencapai sekitar 40%. Namun, pengakuan secara hukum dari pemerintah justru sangat minim.
“Mereka ini hanya mendapatkan pengakuan formal dari pemerintah kurang dari 10%,” ujar Tanti dalam konferensi pers, Selasa (18/11). Fakta tersebut menunjukkan adanya kesenjangan antara peran besar masyarakat adat dan perlindungan hukum yang seharusnya mereka terima.
Ketimpangan juga terjadi dalam pendanaan iklim. Tanti menjelaskan bahwa Asia memiliki populasi masyarakat adat terbesar secara global, menyumbang 60%. Namun akses mereka terhadap pendanaan iklim hanya sekitar 2,9%.
“Jadi, ketidakadilan itu memang ada bagi mereka yang justru menjaga secara konsisten hutan tropis dan ekosistem kritis kita,” katanya.
Terhambat Rumitnya Birokrasi
Tanti mencontohkan kasus pengelolaan dana karbon yang menggambarkan rumitnya birokrasi yang harus ditempuh masyarakat adat.
“Di Kalimantan Timur, untuk mendapatkan pendanaan sekitar US$ 3.000 atau sekitarRp 40 juta, bahkan setelah program berlangsung lima tahun, itu tidak dapat diakses,” kata Tanti.
Menurutnya, hambatan utama terletak pada proses birokrasi yang panjang dan mekanisme yang tidak dirancang untuk menjangkau komunitas penjaga hutan. Akibatnya, mereka yang berada di garis terdepan menjaga ekosistem justru menjadi pihak yang paling sulit mendapatkan dukungan pendanaan.
Tanti menegaskan perlunya reformasi mekanisme pendanaan agar lebih sederhana, inklusif, dan berpihak pada masyarakat adat yang selama ini berperan penting dalam menjaga hutan tropis Indonesia. “Persoalan utama itu selalu soal birokrasi yang sangat panjang,” ujarnya.
Perlu Peta Jalan Sektoral
Sebelumnya, Utusan Khusus Presiden Bidang Perdagangan Internasional dan Kerja Sama Multilateral Mari Elka Pangestu, juga menyebut perdagangan karbon RI harus memberi manfaat pada masyarakat sekitar.
“Jadi di dalam acuan untuk membuat unit karbon di sektoral maupun di daerah, perlu ada benefit kepada masyarakat setempat,” kata Mari, dalam Pembukaan Indonesia Climate Change Forum 2025, di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Menurutnya, hal tersebut tergambar melalui bottom-up approaches (pendekatan dari bawah ke atas) dari sektoral yang digunakan dalam Peraturan Presiden Nomor 110 Tahun 2025 tentang Nilai Ekonomi Karbon. Peta jalan sektoral ini juga akan sejalan dengan target ekonomi makro.
Selain itu, Mari menilai peta jalan ini akan menciptakan kepercayaan pembeli terutama dari luar negeri. Hal tersebut memberi dampak positif pada perdagangan karbon RI.
