Cuaca Ekstrem Membuat Polusi Plastik Makin Berbahaya
Studi terbaru Imperial College London yang diterbitkan di jurnal Frontiers in Science menyebut cuaca ekstrem membuat polusi plastik, khususnya mikroplastik, menjadi polutan yang lebih mudah bergerak, persisten, dan berbahaya.
Sebuah tim ilmuwan meneliti ratusan studi dan menemukan "banyak bukti" bahwa perubahan iklim memperburuk polusi plastik di air, tanah, atmosfer, dan satwa liar kita.
"Polusi plastik dan iklim adalah krisis bersama yang saling memperburuk," kata penulis utama studi tersebut, Frank Kelly, seorang profesor di Fakultas Kesehatan Masyarakat Imperial College London, seperti dikutip CNN, Kamis (27/11).
Hubungannya beragam dan kompleks. Kenaikan suhu, kelembapan, dan sinar matahari memecah plastik, membuatnya rapuh dan retak, mempercepat disintegrasinya menjadi pecahan-pecahan kecil. Studi itu menemukan kenaikan suhu 10 derajat Celsius selama gelombang panas ekstrem dapat menggandakan laju degradasi plastik.
Badai ekstrem, banjir, dan angin juga mempercepat penguraian plastik, memobilisasinya, dan menyebarkannya lebih luas. Topan di Hong Kong, misalnya, meningkatkan konsentrasi mikroplastik di sedimen pantai hampir 40 kali lipat.
Dalam sebuah perubahan yang aneh, banjir juga dapat membantu membentuk "batuan plastik", yang terbentuk ketika batu dan plastik membentuk ikatan kimia dan menyatu. Batuan ini menjadi titik panas untuk pembentukan mikroplastik.
Kebakaran hutan, yang dipicu oleh suhu tinggi dan kekeringan, menghanguskan rumah, kantor, dan kendaraan, melepaskan mikroplastik dan senyawa yang sangat beracun ke atmosfer.
Selain itu, ada mikroplastik yang sudah ada. Es laut memerangkap dan mengkonsentrasikan mikroplastik saat terbentuk, menjadikannya penyimpan polusi plastik. Namun, seiring meningkatnya suhu global dan mencairnya es laut, es laut dapat berubah menjadi sumber utama polusi plastik.
Mikroplastik Membawa Zat Berbahaya yang Tidak Mudah Terurai
Analisis para ilmuwan dalam studi tersebut menemukan perubahan iklim juga dapat membuat plastik lebih berbahaya.
Mikroplastik bertindak sebagai "kuda Troya", membawa zat-zat seperti pestisida dan bahan kimia berbahaya yang tidak mudah terurai di lingkungan. Suhu yang lebih tinggi dapat membantu plastik menyerap dan melepaskan kontaminan berbahaya ini dengan lebih mudah, serta meningkatkan kemampuannya untuk melepaskan bahan kimia berbahaya yang terkandung di dalam plastik itu sendiri.
Studi itu menyebutkan ketika krisis ganda polusi plastik dan perubahan iklim bertabrakan, dampaknya terhadap hewan, terutama biota laut, bisa jadi signifikan.
Penelitian terhadap karang, siput laut, bulu babi, kerang, dan ikan menemukan polusi mikroplastik membuat mereka kurang mampu mengatasi kenaikan suhu laut dan pengasaman laut. Kedua peristiwa itu dipicu oleh perubahan iklim.
Beberapa hewan pemakan filter, seperti kerang, menjadi penuh dengan mikroplastik dan mentransfernya ke predator mereka, mendorong polusi ke rantai makanan yang lebih tinggi. "Predator puncak seperti orca bisa menjadi tanda bahaya, karena mereka mungkin sangat rentan," kata Guy Woodward, seorang profesor ekologi di Imperial College London.
Menunggu Perjanjian Pembatasan Plastik Global Disepakati
Studi ini menyarankan beberapa solusi untuk krisis ini, termasuk mengurangi penggunaan plastik, penggunaan kembali dan daur ulang, serta mendesain ulang produk dan menghilangkan plastik sekali pakai yang tidak perlu.
"Harapan terbesar untuk keberhasilan adalah perjanjian plastik global yang mengikat secara hukum yang bertujuan untuk mengakhiri polusi," kata para ilmuwan dalam laporannya.
Namun, negosiasi selama bertahun-tahun gagal menghasilkan kesepakatan apa pun, karena negara-negara masih terpecah belah. Terutama, mengenai apakah akan memberlakukan batasan produksi plastik — sesuatu yang menurut banyak pakar lingkungan sangat penting untuk mengatasi krisis ini.
Para penulis laporan berpendapat, dunia harus menemukan solusi karena situasi akan semakin memburuk. Produksi plastik tahunan global meningkat 200 kali lipat antara tahun 1950 dan 2023. Produksi plastik diprediksi akan terus meningkat seiring dunia bergerak menuju energi bersih dan perusahaan-perusahaan minyak mengalihkan investasi ke plastik.
“Kita perlu bertindak sekarang, karena plastik yang dibuang saat ini mengancam gangguan ekosistem berskala global di masa depan,” kata Stephanie Wright, penulis studi dan profesor madya di Fakultas Kesehatan Masyarakat Imperial College London.
Tamara Galloway, Profesor Ekotoksikologi di Universitas Exeter, yang tidak terlibat dalam penelitian ini, mengatakan analisis ini penting untuk melihat ke masa depan dan memahami apa yang mungkin terjadi jika manusia terus memanaskan bumi.
“Jelas ada kekurangan studi yang mempertimbangkan kedua tantangan kesehatan global ini secara bersamaan. Dasar dari keduanya adalah kebutuhan untuk mengurangi pola konsumsi berlebihan yang mendorong perubahan iklim dan polusi plastik,” ujarnya kepada CNN.
