Aturan DMO Minyak Kelapa Sawit Dinilai Rawan Penyimpangan
Pemerintah tengah membahas aturan kewajiban domestic market obligation (DMO) minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO). Namun, pengamat menilai aturan tersebut dalam penerapannya akan rawan penyimpangan.
"Sekitar 10-12 tahun lalu pernah digagas sistem DMO tetapi tidak jadi dilaksanakan karena rawan terhadap penyimpangan," kata Ketua Dewan Penasehat Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) Bayu Krisnamurthi kepada Katadata, Jumat (17/7).
Menurutnya, penyimpangan berpotensi terjadi saat penentuan besaran kewajiban pasokan, pembagian antara perusahaan, dan pengawasan. Selain itu, DMO lazim diterapkan bila terjadi kekurangan pasokan CPO. Namun Bayu menilai hal itu tidak terjadi karena produksi CPO Indonesia terus naik.
Dia mengatakan, pemerintah dan Pertamina (Persero) tidak perlu khawatir terhadap kekurangan bahan baku CPO. Jumlah CPO yang tersedia, berlebih untuk memenuhi kebutuhan domestik. "Pada saat Pertamina selesai membangun unit green diesel-nya maka produksi Indonesia sudah akan mencapai sekitar 40 juta ton CPO," ujar Bayu.
Mantan Menteri Pertanian Indonesia sekaligus Pengamat Pertanian Bungaran Saragih mengatakan, pemerintah harus berpikir panjang dalam membahas aturan DMO. "Jangan oportunis. Perusahaan juga jangan lihat jangka pendek saja," katanya.
Sebagaimana diketahui, Pertamina meminta pemerintah menetapkan kewajiban pasokan dalam negeri atau DMO CPO. Dengan begitu, harga biodiesel 100% atau B100 bisa lebih murah. (Baca: Kementerian ESDM Mulai Bahas Aturan DMO Minyak Sawit untuk Pertamina)
Meski begitu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral atau ESDM belum memberikan keputusan terkait hal tersebut. "Masih pembahasan," ujar Direktur Bioenergi Andriah Feby Misna ke Katadata.co.id pada Kamis (2/7).
Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati sebelumnya meminta pemerintah memberlakukan DMO minyak sawit untuk memproduksi biodiesel. Sehingga perusahaan bisa mendapatkan pasokan minyak sawit yang berkelanjutan dengan harga yang lebih murah dari ekspor.
"Ini seperti halnya PLN membangun 35 ribu MW, butuh suplai batu bara besar dengan volume dan harga batas bawah dan batas atas," kata Nicke beberapa waktu lalu.