Jepang Bakal Hapus Kendaraan Berbahan Bakar Bensin di 2035
Jepang akan menghilangkan kendaraan bermotor bertenaga bensin dalam 15 tahun ke depan. Sebagai gantinya, pemerintah setempat mendorong pemakaian mobil listrik. Rencana ini sebagai upaya mencapai target bebas emisi karbon pada 2050.
Strategi pertumbuhan hijaunya fokus pada industri hidrogen dan otomotif. Pemerintahan Perdana Menteri Yoshihide Suga, mengutip dari Reuters, Jumat (25/12), akan menjadikan investasi hijau sebagai prioritas utama untuk menghidupkan kembali ekonomi Jepang yang dilanda Covid-19. Target investasinya mencapai US$ 2 triliun per tahun atau sekitar Rp 28 ribu triliun.
Langkah tersebut serupa dengan negara maju lainnya, termasuk Uni Eropa, Tiongkok, dan Korea Selatan. Mereka juga berencana menjadi bebas karbon pada pertengahan abad ini. “Membuat tujuan dan arah kebijakan yang jelas dalam strategi pertumbuhan akan memberi insentif perusahaan untuk berinvestasi dalam teknologi masa depan,” kata profesor dari Universitas Tokyo Yukari Takamura.
Pemerintah Jepang menawarkan insentif pajak dan dukungan keuangan lainnya kepada perusahaan yang berinvestasi hijau. Target pertumbuhan ekonomi melalui investasi hijaunya bakal mencapai US$ 870 miliar pada 2030 dan US$ 1,8 triliun pada 2050.
Tokyo juga menyiapkan dana 2 triliun yen atau sekitar Rp 273 triliun untuk mendukung perusahaan berinvestasi dalam teknologi hijau. Termasuk di dalamnya untuk mengganti penjualan kendaraan berbahan bakar bensin menjadi listrik pada pertengahan 2030an.
Untuk mempercepat pengembangan mobil listrik, pemerintah menargetkan memangkas biaya baterai kendaraan lebih dari setengahnya menjadi 10 ribu yen (sekitar Rp 1,3 juta) atau kurang per kilowatt jam (kWh) pada 2030.
Permintaan listriknya diperkirakan akan meningkat 30% hingga 50% dari level saat ini pada 2050. Elektrifikasi di sektor industri, transportasi, dan rumah tangga mendorong peningkatan tersebut.
Karena itu, Jepang menargetkan memasang pembangkit listrik tenaga angin lepas pantai hingga 45 gigawatt (GW) pada 2040. Energi baru terbarukan atau EBT akan menjadi fokus pengembangan pemerintah. Dari pemakaian hanya 20% saat ini menjadi 50% hingga 60% pada 2050.
Sisanya akan berasal dari pembangkit listrik hidrogen dan amonia, yang menyumbang 10% dari listrik. Tenaga nuklir, bersama dengan pembangkit listrik tenaga fosil dengan teknologi penangkapan karbon, akan menyediakan 30% hingga 40% sisanya.
Tokyo ingin mencapai 20% pemakaian amonia sebagai bahan bakar campuran pembangkit listrik fosil pada 2030. Untuk konsumsi hidrogen targetnya mencapai 3 juta ton pada 2030 dan 20 juta ton pada 2050.
Pemerintahan Suga berkomitmen mengurangi ketergantungan pada tenaga nuklir. Pembangkitnya yang sudah ada akan dimaksimalkan, sambil mengembangkan reaktor generasi berikutnya.
Bos Toyota Kritik Pengembangan Mobil Listrik
Sebelumnya, pada pertengahan bulan ini bos pabrikan mobil terbesar di dunia, Toyota, tak sepakat dengan rencana penghapusan kendaraan berbahan bakar bensin. “Model bisnis otomotif saat ini akan runtuh jika industri beralih ke EV (kendaraan listrik) terlalu tergesa-gesa,” kata Presiden Toyota Motor Corporation Akio Toyoda.
Cucu pendiri Toyota itu mengatakan Jepang akan kehabisan listrik pada musim panas apabila semua mobil memakai tenaga listrik. Infrastruktur yang diperlukan untuk mendukung armada kendaraan lsitrik akan menelan biaya 14 triliun hingga 37 triliun yen. Angka ini sekitar Rp 1.919 triliun hingga Rp 5.974 triliun dengan asumsi kurs Rp 137,14 per yen.
Pengurangan emisi karbon menjadi tidak akan efektif karena sebagian besar listrik di negara itu memakai bahan bakar batu bara dan gas alam. “Semakin banyak EV yang kita buat, semakin buruk emisi karbondioksida,” kata Toyoda. “Ketika politisi di luar sana berkata, mari singkirkan mobil yang menggunakan mesin, apakah mereka memahami masalah ini?”