Jurus Baru DEN untuk Kejar Target Bauran Energi
- DEN berpendapat sangat sulit mengejar target bauran energi 23% di 2025.
- Asumsi-asumsi dan dasar perhitungan RUEN saat ini tak lagi valid.
- Prioritas pemerintah sebaiknya menghentikan pemakaian bahan bakar fosil dan beralih ke energi baru terbarukan.
Dewan Energi Nasional berencana mengevaluasi target-target bauran energi yang ditetapkan dalam rancangan umum energi nasional atau RUEN 2017. Termasuk dalam revisi ini adalah pemakaian energi baru terbarukan alias EBT sebesar 23% pada 2025.
Anggota DEN Satya Widya Yudha berpendapat asumsi makro dalam acuan itu terlalu ambisius. Pemerintah mematok angka pertumbuhan ekonomi di 7% hingga 8%. Sedangkan realisasinya jauh dari itu.
Apalagi, pandemi Covid-19 muncul dan menekan sektor ekonomi. “Siapa yang mengira ada tabrakan berat di 2020, permintaan energi berkurang,” katanya dalam Indonesia Energy Transition Outlook 2021, kemarin.
Target bauran energi baru terbarukan atau EBT dalam RUEN juga cukup berat. Saat ini realisasinya baru 11%. “Menurut saya sangat sulit mengejar 23%,” ujar Satya.
DEN bakal mengevaluasi REUN dengan dua pendekatan. Pertama, melakukan penyesuaian terhadap target bauran energi baru terbarukan. Kemudian, menstimulasi berbagai kebijakan untuk mendorong tercapainya target 23%.
Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional Djoko Siswanto menyampaikan realisasi bauran energi primer energi terbarukan hingga semester pertama 2020 baru mencapai 10,90%. Angka ini lebih rendah dibandingkan energi lainnya.
Gas bumi realisasinya 19,36%, minyak sebesar 34,38%, dan batu bara masih dominan sebesar 35,36%. Grafik Databoks di bawah ini menujukkan realisasi bauran energi pada paruh pertama tahun lalu.
Untuk tahun ini, pemerintah menargetkan porsi bauran energi terbarukan sebesar 14,52%. Bahan bakar gas sebesar 21,90%, minyak 34,38%, dan batu bara 35,46%.
Meskipun ketidakpastian ekonomi akibat pandemi masih terjadi, namun Djoko optimistis target itu dapat tercapai. “Kami berharap mendekati angka tersebut," kata dia kepada Katadata.co.id, Rabu (27/1).
Tantangan strategi energi ke depan adalah permintaan energi naik tapi pasokannya terbatas. Sebenarnya kondisi ini sudah terjadi di Indonesia. Produksi minyaknya terus turun, sementara konsumsinya naik. Impor pun menjadi solusi selama bertahun-tahun. Kondisi serupa juga terjadi untuk elpiji atau LPG.
DEN telah membuat draf strategi besar untuk mengatasi masalah energi Tanah Air. Pertama, meningkatkan produksi minyak mentah sebesar satu juta barel per hari dan mengakuisisi lapangan migas luar negeri untuk kebutuhan kilang. Kedua, meningkatkan kapasitas kilang bahan bakar minyak atau BBM.
Ketiga, mengoptimalkan pemanfaatan gas bumi. Keempat, meningkatkan penggunaan kendaraan listrik berbasis baterai. Kelima, pemanfaatan pembangkit energi baru terbarukan, dengan dominasi pembangkit surya atau PLTS dan mendorong produksi bahan bakar nabati (BBN).
Keenam, meningkatkan produksi elpiji domestik. Ketujuh, meningkatkan pembangunan jaringan gas kota. Kedelapan, mendorong pemanfaatan kompor listrik. Kesembilan, mengembangkan produksi dimethyl ether (DME), methanol, pupuk, dan syngas.
Kesepuluh, membangun transmisi gas dan terminal elpiji. Terakhir, membangun transmisi dan distribusi listrik, smart grid, pembangunan off grid, dan pembangkit nuklir (PLTN) skala kecil.
Dengan grand strategy tersebut, Djoko menyebut tambahan pembangkit akan mencapai 38 gigawatt di 2035. “Hal ini membuka peluang ekspor listrik energi terbarukan, melalui Asean Power Grid,” ujarnya.
Evaluasi RUEN Jangan Kurangi Energi Terbarukan
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa berpendapat RUEN memang perlu dievaluasi. Asumsi-asumsi dan dasar perhitungannya saat ini tak lagi valid.
Misalnya, pertumbuhan ekonomi 7% yang realisasinya sudah pasti tak tercapai. Padahal, angka ini menjadi faktor penting untuk menghitung permintaan dan kebutuhan energi setiap sektor.
Namun, evaluasi itu sebaiknya tidak mengurangi target energi terbarukan minimal 23% di 2025. “Karena RUEN mengikuti patokan kebijakan energi nasional atau KEN,” kata Fabby.
Justru, menurut dia, pemakaian energi bersih harus meningkat sesuai komitmen Indonesia mencegah perubahan iklim dan melaksanakan Perjanjian Paris 2015. Pemakaian bahan bakar fosil perlu dikurangi karena berkontribusi besar dalam peningkatan emisi karbon di negara ini.
Dengan menetapkan energi terbarukan tahun ini di 14,52%, artinya kontribusi dari pembangkit listrik paling tidak sebesar 17%. Sektor transportasi tidak bisa menjadi tumpuan karena pemerintah menunda pelaksanaan BBN atau biofuel 40 (B40).
Peluang terbesar ada di sektor kelistrikan. “Menurut saya, pembangkit energi terbarukan harus bertambah dua gigawatt per tahun,” katanya.
Setop Gunakan Batu Bara
Regional Climate and Energy Campaign Coordinator Greenpeace Indonesia Tata Mustasya berpendapat identifikasi masalah DEN sudah tepat. Asumsi makro ekonomi di dalamnya memang sudah tidak relevan. Namun, evaluasi untuk mengurangi target energi terbarukan merupakan langkah keliru.
Seharusnya langkah prioritasnya adalah menghentikan pembangunan pembangkit listrik tenaga uap dan menutup PLTU tua. “Jadi, ada ruang untuk EBT," kata Tata.
Merujuk pada pernyataan DEN, ia menjadi pesimistis, bahkan untuk mencapai target tidak ambisius, yaitu 23% di 2025. Ini menjadi sinyal buruk untuk pengembangan energi terbarukan di Indonesia.
Pemerintah perlu melakukan terobosan radikal. Apalagi, Presiden Joko Widodo dalam Climate Adaptation Summit pada 25 Januari lalu telah menyebut pentingnya mengatasi perubahan iklim yang berdampak ke petani dan nelayan. Kalau porsi energi terbarukan diturunkan dalam RUEN, kebijakan ini menjadi kontradiktif.
Indonesia akan semakin tertinggal dibandingkan negara-negara Asia Tenggara lain. Vietnam terus berekspansi pada bauran energi terbarukan, terutama matahari. Filipina sudah melakukan moratorium PLTU. Kemudian, Thailand dan Malaysia juga semakin maju dengan energi terbarukannya.
Pemanfaatan PLTS di negara ini baru sekitar 112 megawatt. Sedangkan Vietnam telah mencapai 4 gigawatt. “Padahal, lima tahun lalu posisinya masih sejajar,” kata Tata.
Hanya kebijakan di level Presiden yang bisa melepaskan Indonesia dari posisi yang semakin terkunci dari PLTU batu bara saat ini. Sangat mungkin listrik kotor ini akan menjadi titik lemah Indonesia dalam menarik investasi hijau. "Bisnis hijau kok dilistriki batu bara," ujarnya.
Guru besar Fakultas Teknik Elektro Universitas Indonesia Profesor Iwa Garniwa menilai bauran energi terbarukan pada 2025 sebesar 23% sulit dilaksanakan. Waktunya sudah dekat. Kesiapannya baru sebatas rencana.
Perlu upaya besar untuk membangun sejumlah pembangkit EBT. ”Ada kesan pemerintah kadung janji sehingga berbagai cara dilakukan tanpa berpikir dampak teknis, ekonomis, sosial, dan lingkungan," ujarnya.
Padahal, tujuan membuat bauran energi adalah untuk kepentingan masyarakat. "Jadi kalau mau revisi ya sesuaikan dengan kebutuhan kita serta mengacu pada kearifan lokal," ucapnya.
Tidak hanya sekadar melihat dunia luar, contohnya melihat Tiongkok, Eropa dan beberapa negara tetangga yang pemanfaatan prosi bauran EBTnya lebih tinggi daripada Indonesia. "Kita langsung ingin ngebut tanpa berpikir dampaknya," ucapnya.