Sri Mulyani: RI Butuh Dana Rp 428 T untuk Pensiunkan PLTU Batu Bara

Image title
Oleh Abdul Azis Said
3 November 2021, 10:40
Sri Mulyani, Cop26
Lukas-Biro Pers Sekretariat Presiden
Presiden RI, Joko Widodo dalam pembukaan Action on Forest and Land Use Event, 26th Conference of the Parties (COP26) di Glasgow, Inggris, tanggal 2 November 2021.

Pemerintah mempertegas keinginannya untuk segera mengakhiri penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkap pemerintah setidaknya butuh anggaran hingga US$ 30 miliar atau Rp 428,4 triliun (kurs Rp 14.280 per US$) untuk merealisasikannya dalam beberapa tahun ke depan.

"Indonesia telah mengidentifikasi terdapat 5,5 GW PLTU batu bara yang bisa masuk dalam proyek ini (pensiun dini), dengan kebutuhan pendanaan sebesar US$ 25-30 miliar selama delapan tahun ke depan," tulis Sri Mulyani dalam unggahan di akun instagram pribadinya @smindrawati, Selasa (2/11).

Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara sebelumnya juga sempat mengatakan bahwa butuh anggaran hingga Rp 3.500 triliun untuk mempensiunkan seluruh PLTU batu bara yang ada saat ini. Kebutuhan ini menurutnya tidak bisa didanai sendiri, melainkan butuh dukungan internasional.

Sri Mulyani mengatakan rencana pensiun dini PLTU batu bara menjadi salah satu agenda transisi energi Indonesia untuk memenuhi komitmen penanganan perubahan iklim. Sebagaimana dokumen NDC, Indonesia berjanji mengurangi emisi 29% hingga tahun 2030 dengan upaya sendiri dan 41% dengan dukungan internasional.

Rencana untuk mempensiunkan pembangkit batu bara juga disampaikannnya bersama Presiden Jokowi di depan forum CEO dunia dan investor. Pertemuan tersebut termasuk salah satu agenda pemerintah dalam acara KTT PBB terkait Perubahan Iklim (COP26) di Glasgow, Inggris.

Dalam pertemuan tersebut, Ani mengatakan presiden turut memamerkan sudah rilisnya aturan baru terkait Nilai Ekonomi Karbon (NEK) atau carbon pricing. Perpres baru ini akan mengatur mekanisme karbon ke depannya.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu sebelumnya menjelaskan, secara umum carbon pricing terdiri atas dua mekanisme penting yaitu perdagangan karbon dan instrumen non-perdagangan. Instrumen perdagangan terdiri atas cap and trade serta offsetting mechanism. Sedangkan instrumen non-perdagangan mencakup pungutan atas karbon dan pembayaran berbasis kinerja atau result-based payment (RBP).

Selain itu, Jokowi juga memamerkan potensi pengembangan kendaraan dan baterai listrik di dalam negeri. Ia juga menyebut pemerintah tengah membangun Green Industrial Park di Kalimantan Utara seluas 13 ribu hektar. Kawasan industri ini akan memakai sumber daya energi yang ramah lingkungan.

"Mereka (investor dan forum CEO) juga sangat antusias menanyakan dan mendukung instrumen pendanaan investasi hijau (green bonds dan blended finance) yang sudah dibentuk Indonesia," tulis Sri Mulyani.

Pemerintah sebelumnya juga telah menggandeng Bank Pembangunan Asia (ADB) untuk mendukung rencana transisi energi yang lebih bersih. Pada pertemuan COP26, ADB menekan nota kesepahaman dengan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) terkait program Energy Transition Mechanism (ETM).

Indonesia menjadi salah satu dari tiga negara mitra ADB untuk studi percontohan program ETM. Adapun dua negara lainnya yakni Vietnam dan Filipina. Program ini bertujuan untuk membantu pengurangan karbon dengan mempensiunkan PLTU batu bara lebih dini. Adapun pembiayaannya bersumber dari skema blended-finance atau pembiayaan publik dan swasta.

Reporter: Abdul Azis Said
Editor: Yuliawati

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...