Regulasi Nuklir Dinilai Belum Mendukung Inovasi dan Investasi Swasta
Rencana pemerintah mengembangkan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) dinilai masih belum berpihak pada investor. Padahal pengembangan energi nuklir merupakan salah satu opsi pemerintah untuk memenuhi kebutuhan listrik di masa depan.
Kepala Perwakilan ThorCon International Bob S. Effendi berpendapat regulasi energi nuklir tidak mendukung adanya inovasi dan investasi swasta. Padahal pemerintah sudah menegaskan bahwa tidak akan menggunakan APBN untuk membangun PLTN.
Menurut Bob PLTN yang seharusnya dibangun adalah yang dapat bersaing dengan batu bara secara keekonomian, dan hanya reaktor generasi IV seperti molten salt reactor yang dapat merealisasikan hal itu. Namun regulasi yang ada saat ini hanya mengizinkan PLTN yang sudah beroperasi.
Sementara, PLTN konvensional tersebut dinilai sangat mahal dan tidak dapat bersaing untuk menggantikan PLTU batu bara. "Artinya harus ada perubahan. Bagusnya Badan Pengawas Tenaga Nuklir sudah menyadari hal tersebut dan mencoba merubah regulasi tersebut," kata Bob kepada Katadata.co.id, Jumat (26/11).
Meskipun di dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru dan Terbarukan (EBT) nuklir sudah masuk dan diakui sebagai komponen penting transisi energi. Sehingga menjadikan opsi terakhir terhadap nuklir di dalam Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2014 sudah tidak lagi relevan.
Namun dalam RUU EBT terdapat pasal yang juga bertentangan dengan UU Ketenaganukliran dan UU Monopoli serta semangat UU Cipta Kerja, yang mendorong peran swasta dan investasi swasta. Salah satunya dengan memasukkan pasal PLTN hanya dapat dibangun oleh BUMN khusus.
Pemerintah menyadari bahwa kebutuhan listrik pada 2050 diprediksi tidak akan dapat dipenuhi, bahkan setelah memaksimalkan potensi energi baru terbarukan (EBT) yang dimiliki Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah akan mencari sumber energi alternatif lainnya, termasuk nuklir, untuk memenuhi kebutuhan listrik.
Direktur Panas Bumi Kementerian ESDM Harris mengatakan jika semua potensi EBT yang ada di Indonesia telah dikembangkan dan diproduksikan, maka pemerintah akan mencari sumber energi alternatif lainnya untuk memenuhi konsumsi listrik pada 2050 yang mencapai 2.000 terawatt hour (TWh).
"Kalau sudah dikembangkan maka perlu dicari energi alternatif lain sehingga demand listrik tetap terpenuhi. Opsi nuklir juga masih terbuka," kata Harris kepada Katadata.co.id beberapa waktu lalu, Rabu (6/10).