Pemerintah Lirik Nuklir untuk Listrik Jika EBT Tak Mencukupi pada 2050
Pemerintah menyadari bahwa kebutuhan listrik pada 2050 diprediksi tidak akan dapat dipenuhi, bahkan setelah memaksimalkan potensi energi baru terbarukan (EBT) yang dimiliki Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah akan mencari sumber energi alternatif lainnya, termasuk nuklir, untuk memenuhi kebutuhan listrik.
Direktur Panas Bumi Kementerian ESDM Harris mengatakan jika semua potensi EBT yang ada di Indonesia telah dikembangkan dan diproduksikan, maka pemerintah akan mencari sumber energi alternatif lainnya untuk memenuhi konsumsi listrik pada 2050 yang mencapai 2.000 terawatt hour (TWh).
"Kalau sudah dikembangkan maka perlu dicari energi alternatif lain sehingga demand listrik tetap terpenuhi. Opsi nuklir juga masih terbuka," kata Harris kepada Katadata.co.id, Rabu (6/10).
Energi alternatif yang memungkinkan di antaranya penggunaan teknologi advanced geothermal. Teknologi ini dapat mengoptimalkan panas yang diekstraksi ke permukaan karena menggunakan casing yang memiliki kemampuan lebih baik untuk menyerap panas, dan sirkulasi fluida dilakukan secara tertutup (close system).
Nuklir sebagai pembangkit listrik juga telah masuk dalam prioritas riset nasional 2020-2024. Fokusnya adalah untuk memastikan keamanan dari pengembangan nuklir, baik dari segi lokasi dan pengembangan teknologinya.
Sebelumnya, DEN menilai konsumsi listrik di tahun 2050 diprediksi akan tumbuh menjadi 2.000 TWh. Sehingga listrik yang diproduksikan dari pembangkit EBT pun belum dapat mencukupi kebutuhan tersebut. Simak potensi EBT Indonesia pada databoks berikut:
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Herman Darnel Ibrahim mengatakan saat ini pembangkit EBT yang memungkinkan untuk menggantikan PLTU batu bara yakni pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) dan air (PLTA).
RI memiliki potensi panas bumi hingga 23,9 Gigawatt (GW). Namun listrik yang dihasilkan kemungkinan hanya mencapai 100 TWh. Sedangkan PLTA, dengan potensi yang ada saat ini maka listrik yang dapat diproduksikan hanya sekitar 250-300 TWh. Sehingga gabungan keduanya hanya sekitar 500 TWh.
Sedangkan, kebutuhan listrik RI dari Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) pada 2050 diproyeksi sekitar 2.000 TWh. Artinya ada kesenjangan sekitar 1.500 TWh.
"Saat ini 1.500 TWh itu kalau boleh pakai, tentu kita pakai fosil dan gas. Kemudian sisanya EBT lainnya diutamakan yang mudah PLTS dan angin. Namun tidak tertutup kemungkinan nuklir. Jadi penggantian semua pembangkit fosil itu masih panjang," ujar Herman pekan lalu.