ESDM Prioritaskan Tenaga Surya Sebagai Pengganti Energi Fosil
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menilai energi surya memiliki potensi paling besar dalam pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) di tanah air. Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Dadan Kusdiana, mengatakan kapasitas energi surya di Indonesia lebih banyak daripada sumber EBT lain.
Selain itu, energi surya memiliki keunggulan karena harganya yang mampu bersaing. "Harga keekonomiannya sudah mulai bersaing dan potensinya banyak. Ada di mana saja, dari Jakarta hingga Papua. Di Sumba yang paling bagus," kata Dadan dalam Energy Corner CNBC pada Rabu (4/5).
Guna mengembangkan energi surya menjadi alternatif pengganti energi fosil, pemerintah perlu menyiapkan sejumlah infrastruktur penyimpanan energi listrik dari tenaga surya, di antaranya dalam bentuk baterai. Alasannya, panas matahari terbatas dalam kurun waktu tiga sampai empat jam per hari, dan tidak optimal saat pagi dan sore.
"Memang harganya masih mahal, tapi sebagai penghasil nikel dan lithium yang besar, serta ketika teknologi semakin baik, baterai ini akan diproduksi dalam negeri sehingga harganya mampu bersaing," ujar Dadan.
ESDM mencatat potensi energi surya yang mencapai 100 Mega Watt (MW), dan potensi EBT dari sektor panas bumi sebesar 20 MW. Kemudian tenaga hidro pada tahun 2060 diperkirakan akan menyumbang 83 Giga Watt (GW), energi bayu atau angin sebesar 39 GW. "Tenaga surya yang akan menjadi prioritas," ujarnya.
Adapun upaya untuk mempercepat penggunaan EBT dengan menghentikan batu bara sebagai sumber pembangkit listrik, memiliki kendala. Rencana menghentikan PLTU batu bara belum bisa direalisasikan karena pemerintah harus menghormati kontrak pembangunannya.
Kondisi surplus listrik PLN berdampak pada pengembangan pembangkit EBT yang harus diundur. "Bagaimana kita memasukkan EBT jika listriknya berlebih? dan Pemerintah saat ini menghormati kontrak PLTU baru," ujar Dadan.
Kontrak PLTU baru tersebut merupakan tahap terakhir dari pengadaan PLTU batu bara sebagai pembangkit listrik di Indonesia. Ia menjamin, ke depan pemerintah tak akan membuka pintu perpanjangan kontak baru bagi PLTU batu bara.
"Tidak ada penambahan PLTU dan secara bertahap akan dilakukan pemensiunan PLTU. PLTU ini ada umurnya 30 tahun, misal start tahun 2000 dan pensiun pada 2030. Saat konsumsi bertambah maka yang EBT masuk, dan diharap pada 2055 atau 2056 PLTU batu bara dapat pensiun seutuhnya," ujar Dadan.
Ke depan, secara bertahap penggunaan energi fosil dalam kegiatan rumah tangga adan transportasi akan digantikan oleh energi terbarukan. Penggunaan gas LPG di rumah tangga akan diganti oleh kompor induksi. Sedangkan penggunaan energi fosil di sektor transportasi akan diganti secara bertahap oleh kendaraan berbasis listrik dan baterai.
"Saya kira ini bukan sesuatu yang baru. Sampai sekarang pembangunan fasilitas energi bukan hanya dari APBN, ada juga dari badan usaha. Tetapi dari badan usaha, Pemerintah punya kekuasaan untuk memastikan agar masyarakat mendapat energi yang mudah dan terjangkau," ujarnya.
Pemerintah disarankan agar memperluas pemberian insentif untuk menggenjot pemanfaatan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di Indonesia. Hal ini termasuk memberikan insentif kepada pelaku usaha yang memasang pembangkit energi baru terbarukan (EBT) di lingkungan operasionalnya. Beberapa model insentif yang diberikan dapat berupa pengurangan pajak, kemudahan dalam akses kredit bank, pengurangan nilai pajak penghasilan hingga pemberian bunga pinjaman yang rendah.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR), Fabby Tumiwa mengatakan insentif tersebut hanya untuk produsen listrik dari energi terbarukan, tidak berlaku bagi pengguna atau pelaku usaha yang memasang PLTS.
“(Padahal) sejumlah perusahaan besar seperti Danone, Coca-cola, Mitsubihsi, hingga Indo Liberty Textile di tahun ini berencana memasang PLTS atap. Namun insentif tersebut hanya bisa diklaim oleh para produsen listrik dari energi terbarukan,“ ujarnya, Selasa (19/4).
Sejumlah rencana proyek PLTS skala besar dengan total 2,7 gigawatt (GW) membutuhkan investasi sebesar US$ 3 miliar atau sekitar Rp 43 triliun. Fabby menilai untuk memobilisasi investasi ini, diperlukan ekosistem yang menarik dan mendukung, termasuk kebijakan dan regulasi yang baik, implementasi komprehensif peraturan yang sudah ada, dan dukungan untuk mendorong pengembangan rantai pasok industri PLTS di Indonesia.