PLTS Atap dan Pembangkit Listrik Angin Kunci Kejar Bauran EBT 23% 2025
Institute for Essential Services Reform (IESR) menyoroti langkah pemerintah yang tak kunjung memaksimalkan potensi sumber daya energi surya dan angin untuk mengejar target bauran energi baru dan terbarukan (EBT) nasional sebesar 23% pada 2025.
Kementerian ESDM melaporkan porsi EBT dalam bauran energi nasional saat ini tertahan di angka 12,3% dan dibutuhkan sekira penambahan kapasitas 12 gigawatt (GW) pemanfaatan EBT pada sektor energi primer untuk mengejar target 23% dalam waktu dua tahun. Porsi EBT dalam bauran energi primer hanya naik 0,1% sepanjang 2022.
Peneliti Teknologi Penyimpanan Energi dan Material Baterai IESR, His Muhammad Bintang mengatakan pemanfataan energi terbarukan melalui pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap dan pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) secara masif merupakan langkah paling cepat untuk mengejar target bauran energi 23% pada 2025.
Bintang mengatakan bahwa dua jenis energi terbarukan itu merupakan yang terbesar dan lebih mudah untuk dieksploitasi ketimbang jenis energi bersih lainnya seperti geothermal maupun pembangkit hidro yang relatif membutuhkan biaya investasi tinggi.
Menurutnya, instalasi PLTS atap lebih efisien karena hanya membutuhkan atap sebagai media pemasangan dan tidak perlu membuka lahan tambahan seperti pengembangan pembangkit listrik panas bumi (PLTP) maupun pembangkit listrik tenaga air (PLTA).
Sementara pembangunan PLTB dinilai lebih murah dan hanya membutuhkan lahan yang lebih kecil dari PLTP dan PLTA. Potensi daya listrik dari angin juga lebih besar dari yang dihasilkan oleh PLTP maupun PLTA.
"Matahari dan angin yang sebetulnya dua sumber energi dengan potensi terbesar di Indonesia masih minim pemanfaatannya," kata Bintang dalam diskusi bertajuk 'Bagaimana strategi Indonesia mencapai target bauran 23% energi terbarukan pada tahun 2025?' pada Kamis (27/7).
Sebagaimana diketahui, Indonesia memiliki potensi EBT yang berlimpah mencapai 3.687 GW, terdiri dari potensi surya sebesar 3.294 GW, potensi bayu 155 GW, potensi hidro 95 GW, potensi bioenergi 57 GW, potensi panas bumi 23 GW, dan potensi laut 63 GW.
Bintang menyampaikan, pemerintah saat ini lebih menaruh memprioritaskan penambahan bauran EBT melalui pembangunan PLTA dan PLTP yang cenderung membutuhkan dana investasi besar dengan durasi pembangunan dan jadwal operasional yang relatif lama.
Hal itu dapat dilihat dari laporan capaian kinerja sektor ESDM tahun 2022 yang menaikan target realisasi instalasi PLTP dan PLTA pada 2023 sembari menurunkan target produksi listrik surya.
Kementerian ESDM mematok target instalasi listrik PLTP dan PLTA pada 2023 masing-masing 2,35 GW dan 6,82 GW, naik dari target tahun lalu sebesar 2,34 GW dan 6,80 GW.
Di sisi lain, Kementerian Energi menurunkan target instalasi listrik PLTS dan PLTB masing-masing menjadi 430 megawatt (MW) dan 154 MW. Target itu turun dari tahun 2022 sejumlah 893 MW untuk PLTS dan 156 MW untuk PLTB.
Adapun realisasi pemasangan PLTS pada 2022 hanya 207,3 MW atau 23,2% dari target tahunan. "Realisasi instalasi PLTS 2022 kurang dari seperempat dari yang ditargetkan, lalu yang mengkhawatirkan adalah target instalasi 2023 turun dari tahun sebelumnya," ujar Bintang.
Lemahnya akselerasi pemasangan PLTS atap berawal dari sikap PLN yang enggan melaksanakan amanat Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 26 Tahun 2021 tentang PLTS atap yang mengatur kapasitas instalasi paling tinggi 100% dari total daya listrik pelanggan rumah tangga maupun industri.
Direktur Utama BTI Energy, Erlangga Bayu, mengatakan bahwa bisnis pemasangan PLTS Atap saat ini berjalan lambat karena pemerintah melalui PLN masih membatasi kapasitas instalasi daya PLTS. Kapasitas maksimal yang ditetapkan yakni sebesar 15% dari total terpasang dari pelanggan rumah tangga maupun industri.
"Aturan-aturan seperti ini bisa menghambat pengembangan PLTS atap saat dihubungi lewat sambungan telepon pada Kamis (25/5).