Dorong Transisi Energi, PLN akan Andalkan Pembangkit Listrik Gas

Nadya Zahira
3 Oktober 2023, 08:48
pln, pembangkit listrik tenaga gas, transisi energi
ANTARA FOTO/Anis Efizudin/tom.
Pekerja menyelesaikan pekerjaan pada proyek sumur produksi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) PT Geo Dipa Energi di kawasan dataran tinggi Dieng Desa Kepakisan, Batur, Banjarnegara, Jawa Tengah, Selasa (6/9/2022).

PLN menyampaikan akan mengandalkan pembangkit listrik tenaga gas dalam mendorong transisi energi. Sehingga pada Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) baru hingga 2024, pihaknya tidak akan lagi menambah pembangkit batu bara.

Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo mengatakan, alasan pihaknya memilih pembangkit gas karena emisi yang dihasilkan hanya berkisar 60%. Artinya lebih rendah dibandingkan pembangkit batu bara atau PLTU. Secara investasi, pembangkit gas juga lebih murah yakni hanya US$ 500 juta per gigawatt (GW).

“Selain itu, dalam pembangunan pembangkit berbasis gas ini juga bisa berjalan sangat cepat yaitu sekitar kurang dari dua tahun,” ujar Darmawan dalam Rapat Panja dengan Komisi VI DPR RI, Senin (2/10).

Menurut Darmawan, biaya tersebut tidak begitu mahal. Namun, sayangnya dari segi biaya untuk bahan bakar (fuel cost) jauh lebih mahal jika dibandingkan dengan pembangkit energi baru terbarukan (EBT) lainnya.

Dia memberikan contoh, misalnya biaya belanja modal (capex) per-GW untuk pembangkit listrik tenaga air (PLTA) memang cukup besar yakni US$ 2 miliar atau empat kali lipat dibandingkan dengan capex pembangkit gas. Namun, biaya operational expenditure (opex) pada PLTA kedepannya akan terus murah.

“Hal itu karena bahan baku pembangkit tersebut hanya mengandalkan sumber daya air yang memang sudah tersedia, tidak seperti gas,” kata dia.

Dia menuturkan, jika membangun pembangkit gas capex-nya jauh lebih murah, namun opexnya mahal. Untuk itu, PLN juga berencana akan menambah pembangunan untuk PLTA dan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) karena di awal capex-nya memang mahal tetapi biaya untuk opex-nya kedepannya sangat murah.

Darmawan mengatakan, dalam pembangunan pembangkit EBT memang akan berdampak pada jumlah utang yang harus ditanggung baik oleh pemerintah, maupun PLN karena memakan biaya yang cukup besar. Namun, hal itu tetap harus dilakukan guna mencapai target Net Zero Emission 2060 di Indonesia.

Sebelumnya, Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Surya Darma mengatakan persoalan harga masih menjadi kendala utama dalam pemanfaatan EBT. Ini lantaran harga energi terbarukan tidak ditetapkan sesuai dengan keekonomiannya.

"Bahkan diminta untuk hanya boleh maksimum 85% dari biaya pokok produksi listrik PLN," kata Surya kepada Katadata.co.id, Selasa (2/11).

Sementara, listrik di Indonesia saat ini hampir 90% bersumber dari energi fosil. Dengan ketetapan harga EBT 85% dari BPP PLN, membuat investasinya tak menarik. Salah satu upaya agar bisa memenuhi keekonomian, pemerintah bisa memberikan insentif tambahan lagi pada pengembang EBT.

Harapannya, insentif tersebut dapat meningkatkan keekonomian sehingga memberikan daya tarik. "Hanya saja belum banyak insentif terkait yang dapat meningkatkan keekonomian proyek," katanya.

Reporter: Nadya Zahira

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...