PLN Revisi RUPTL 2024-2033, Pembangkit Listrik EBT Jadi 75%
PT PLN (Persero) memaparkan draf revisi Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) untuk periode 2024-2033 menjadi lebih hijau atau keberlanjutan. Draf RUPTL tersebut menambahkan pembangkit berbasis Energi Baru dan Terbarukan (EBT) sebanyak 75%.
“Sebanyak 75% penambahan kapasitas pembangkit adalah berbasis pada energi baru terbarukan sekitar 60-62 Gigawatt (GW). Sedangkan ada penambahan sekitar 25 GW, yaitu penambahan pembangkit yang berbasis pada gas,” ujar Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo, dalam rapat dengan Komisi VII DPR, Jakarta, Rabu (15/11).
Darmawan mengatakan, revisi tersebut akan menggantikan RUPTL 2021-2030 yang masih berlaku sampai saat ini, yaitu penambahan pembangkit EBT sebesar 20,9 gigawatt (GW) atau 51,6% dari total bauran energi primer.
Selain itu, dia menuturkan, pihaknya bersama dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral telah sepakat untuk merevisi RUPTL tersebut menggunakan skenario bertajuk accelerated renewable energy development with coal phase down.
Dia menyebutkan penambahan pembangkit berbasis EBT sebesar 75% tersebut rinciannya yakni meliputi penambahan pembangkit EBT bersifat baseload sebesar 31 GW, EBT bersifat intermittent yakni variabel angin dan solar sekitar 28 GW, serta terdapat energi baru alias nuklir sebesar 2,4 GW dan bisa bertambah menjadi 5-6 GW.
Namun demikian, Darmawan mengatakan, skenario penambahan pembangkit EBT sebesar 75% tersebut membutuhkan investasi (capital expenditure/capex) yang besar. Tetapi, biaya operasionalnya (operational expenditure/opex) cenderung rendah.
Dia menuturkan, skenario ini juga mengatur Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara masih akan tetap beroperasi sampai masa akhir kontrak. Namun, dengan penambahan teknologi terbaru yakni Carbon Capture and Storage (CCS).
Tantangan Dalam Penerapan CCUS/CCS
Kementerian ESDM berupaya mempercepat pengembangan penangkapan karbon, baik teknologi Carbon Capture and Storage (CCS) maupun Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS) di Indonesia.
Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Tutuka Ariadji, mengatakan penerapan CCS/CCUS penting diterapkan di Indonesia karena bisa menekan emisi karbon dalam rangka mengejar target net zero emission (NZE) pada 2060 atau lebih cepat.
Selain itu Indonesia berpotensi menjadi pelopor dalam implementasi teknologi penangkapan karbon di Asia Tenggara, baik CCS maupun CCUS. Namun, Tutuka mengatakan bahwa penerapan teknologi tersebut di indonesia tentu tidak mudah karena adanya sejumlah tantangan.
Pertama, dari sisi resiko dampak lingkungan. Menurutnya, pengangkutan CO2 (karbon dioksida) dapat membawa dampak yang jelas bagi risiko lingkungan.
"Maka dari itu, kami perlu adanya kolaborasi lintas negara untuk memperjelas penanggung jawaban risiko dari sisi lingkungannya dari adanya penerapan CCS/CCUS ini," ujar Tutuka saat ditemui awak media, di Hotel Mulia, Jakarta, Senin (11/9).
Dia mengatakan tantangan kedua yakni terkait teknis di mana perlu menjamin bahwa tidak adanya kebocoran karbon setelah dilakukan injeksi. Pasalnya, CO2 berhubungan dengan air, yang lambat laun menyebabkan adanya korosif sehingga menimbulkan kebocoran.
"Jadi tidak lari kemana-mana itu nanti akan jadi masalah lingkungan. Kita harus pastikan dengan aturan yang ada, bahwa tidak terjadi kebocoran setelah diinjeksikan," kata Tutuka.
Selanjutnya, dia menyebutkan tantangan ketiga yakni terkait keekonomian atau biaya. Tutuka menuturkan bahwa biaya yang dikeluarkan untuk membangun CCS/CCUS di Indonesia cukup besar. Untuk itu, pemerintah saat ini gencar mencari investor baik dari luar maupun dalam negeri.