PLTS Atap untuk Rumah Tangga Akan Lebih Mahal Imbas Aturan Baru
Pemerintah baru saja mengeluarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 2 Tahun 2024 yang mengatur Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap. Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Dadan Kusdiana, mengakui bahwa konsumen rumah tangga akan kesulitan untuk mengadopsi PTS atap setelah aturan baru tersebut diterbitkan.
"Memang (aturan) PLTS atap yang sekarang agak sulit untuk rumah tangga,” kata Dadan saat ditemui di kantor Kementerian ESDM, di Jakarta, Jumat (23/2).
Dadan mengatakan, revisi Pemern ESDM Nomor 26 Tahun 2021 tersebut menghapus skema jual-beli (ekspor-impor) daya listrik PLTS Atap. Padahal skema tersebut membuat tarif PLTS atap menjadi lebih ekonomis.
Dia mengatakan, PLTS atap menghasilkan energi pada siang hari. Namun, pengguna rumah tangga lebih banyak menggunakan listrik pada malam hari.
Sebelumnya, pengguna PLTS atap bisa mengekspor kelebihan listrik yang diproduksi PLTS atap pada siang hari ke PLN, lalu digunakan lagi untuk malam harinya. Namun dengan dihapusnya ekspor listrik, mekanisme tersebut tidak bisa dijalankan lagi.
“Rumah tangga pakainya malam dan matahari adanya siang. Ini kurang match disitu,” ucapnya.
Dadan mengatakan, aturan PLTS atap terbaru ini lebih mudah diadopsi bagi sektor industri dan komersial. Hal karena konsumsi listrik di sektor industri dan komersial lebih banyak digunakan pada siang hingga sore hari. Sehingga pemerintah, akan menggenjot penggunaan PLTS atap di sektor industri dan komersial.
Investasi PLTS Atap Jadi Lebih Mahal
Sementara itu, Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai, peniadaan skema net-metering akan mempersulit pencapaian target Proyek Strategis Nasional (PSN) berupa 3,6 GW PLTS atap pada 2025. Hal itu juga akan menghambat target bauran energi terbarukan sebesar 23% pada tahun yang sama.
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, mengatakan bahwa pelanggan rumah tangga atau bisnis kecil akan cenderung menunda adopsi PLTS atap. Peniadaan skema net-metering akan menurunkan tingkat keekonomian PLTS atap khususnya di segmen rumah tangga.
"Tanpa net-metering, investasi PLTS atap menjadi lebih mahal,” kata Fabby dalam keterangan tertulisnya, Jumat (23/2).
Fabby mengatakan, pengguna juga harus mengeluarkan dana tambahan untuk penyimpanan energi (battery energy storage). Padahal Net-metering sebenarnya sebuah insentif bagi pelanggan rumah tangga untuk menggunakan PLTS Atap.
Dengan tarif listrik PLN yang dikendalikan, Fabby mengatakan, net-metering membantu meningkatkan kelayakan ekonomi sistem PLTS atap yang dipasang pada kapasitas minimum, sebesar 2 - 3 kWp untuk konsumen kategori R1. PLTS atap akan relatif mahal jika tanpa net-metering dan biaya baterai.
“Kapasitas minimum ini tidak dapat dipenuhi sehingga biaya investasi per satuan kilowatt-peak pun menjadi lebih tinggi. Inilah yang akan menurunkan keekonomian sistem PLTS atap,” ucapnya.
Jumlah pelanggan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) (Persero) yang telah memasang Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap mencapai 2.346 orang hingga Juni 2020. Terbanyak dari DKI Jakarta, yakni 703 orang pelanggan.