Cadangan Gas Menipis, Thailand Jajaki Penggunaan Energi Nuklir
Thailand menjajaki penggunaan teknologi reaktor nuklir modular kecil sebagian bagian dari upaya diservisikasi bauran energi. Hal itu dilakukan di tengah berkurangnya cadangan gas alam yang saat ini merupakan penopang kebutuhan energi negara tersebut.
Perdana Menteri Thailand, Srettha Thavisin, pada acara Kamar Dagang Amerika baru-baru ini menjelaskan tujuan transisi ramah lingkungan di negaranya sebagai salah satu tujuan paling ambisius di kawasan tersebut. Thailand memiliki peta jalan yang komprehensif untuk mencapai 50 persen produksi energi terbarukan pada 2040.
"Di samping solusi penyimpanan hidrogen dan baterai yang ramah lingkungan, Thailand juga mempertimbangkan pembangkit listrik reaktor modular kecil (SMR) untuk menjadikan proses produksi lebih ramah lingkungan", kata dia.= dikutip dari Antara, Selasa (4/6).
Berdasarkan Badan Energi Atom Internasional, SMR adalah reaktor nuklir canggih. Teknologi ini menghasilkan kapasitas listrik sekitar sepertiga dari yang dihasilkan oleh reaktor tenaga nuklir tradisional.
Berdasarkan rencana pengembangan listrik sebelumnya, pembangkit listrik tenaga nuklir pertama di Thailand dijadwalkan beroperasi pada 2020, tetapi proyek tersebut ditunda setelah kecelakaan nuklir Fukushima di Jepang pada tahun 2011.
Asia Tenggara saat ini tidak memiliki reaktor nuklir yang beroperasi. Namun, beberapa negara di kawasan tersebut berupaya mengembangkan proyek nuklir sipil, termasuk melalui teknologi SMR.
Sementara Thailand sangat bergantung pada gas alam untuk kebutuhan tenaga listriknya. Saat ini, gas alam menyumbang dua pertiga dari kebutuhan bahan bakar pembangki listrik negara tersebut.
Thailand telah meningkatkan impor gas alam cair (LNG) dalam beberapa tahun terakhir, akibat menurunnya cadangan domestik. Selama 2018-2037, Thailand menargetkan memenuhi 53 persen kebutuhan energi dari gas alam, 36 persen dari sumber terbarukan, serta 11 persen dari batu bara dan bahan bakar fosil lainnya.
Reuters mencatat peningkatan minat akan energi nuklir terlihat di negara-negara kawasan Eropa dan Asia. Adapun menurut World Nuclear Association (WNA), dewasa ini Asia menjadi wilayah dengan perkembangan energi nuklir paling pesat.
Menurut data WNA, perkembangan energi nuklir di Asia dipimpin oleh Tiongkok. Pada 2021 Negeri Tirai Bambu ini tercatat sudah memiliki 54 reaktor nuklir yang bisa dioperasikan, 24 reaktor dalam tahap pembangunan, dan 31 reaktor dalam tahap perencanaan.