Greenpeace dan Celios: Negara Bisa Untung dari Pensiun Dini PLTU

Image title
5 November 2024, 15:35
Nelayan mencari kerang di sekitar PLTU Cirebon, Jawa Barat, Jumat (8/12/2023).
ANTARA FOTO/Dedhez Anggara/Spt.
Nelayan mencari kerang di sekitar PLTU Cirebon, Jawa Barat, Jumat (8/12/2023).

Ringkasan

  • Bhima Yudhistira dari Center of Economic and Law Studies (Celios) berpendapat bahwa pensiun dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara dapat menghemat biaya subsidi, kompensasi listrik, dan biaya kesehatan, berbeda dengan pandangan pemerintah dan BUMN yang menyatakan hal itu akan membebani keuangan negara. Kelebihan pasokan listrik di Jawa dan Sumatra dianggap sebagai salah satu penyebab kerugian keuangan bagi negara.
  • Leonard Simanjuntak dari Greenpeace Indonesia dan Tata Mustasya dari Kesejahteraan Berkelanjutan Indonesia (Sustain) menekankan pentingnya transisi energi dan pensiun dini PLTU batubara sebagai bagian dari komitmen terhadap energi terbarukan dan mitigasi krisis iklim, bukan sebagai kerugian negara. Tata Mustasya juga mendorong investasi besar pemerintah dalam pembangunan smart grid sebagai kunci kemajuan dan ketahanan energi Indonesia.
  • Fokus pada urgensi restrukturisasi keuangan dan pengembangan inovasi teknologi untuk mendukung tujuan energi terbarukan di Indonesia dianggap sebagai tanggung jawab negara. Percepatan transisi energi dan pembangunan infrastruktur energi yang cerdas (smart grid) merupakan investasi jangka panjang yang akan membawa keuntungan dan memperkuat posisi Indonesia dalam menghadapi tantangan energi global dan krisis iklim.
! Ringkasan ini dihasilkan dengan menggunakan AI
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menanggapi kekhawatiran pemerintah dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mengenai pensiun Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara yang akan membebani keuangan negara. Menurut Bhima, rencana pensiun dini PLTU seharusnya dianggap sebagai keuntungan karena menghemat biaya subsidi, kompensasi listrik, dan biaya kesehatan. 

Meurut Bhima, kendala infrastruktur dan finansial yang dianggap beban justru disebabkan oleh kelebihan pasokan listrik, terutama di Jawa dan Sumatra. Hal ini mengakibatkan kerugian finansial yang diperkirakan mencapai Rp 18 triliun pada 2023, karena kapasitas yang tidak terpakai.

Menurutnya, paradigma dalam mengindikasikan kerugian negara juga problematis. Peningkatan belanja pemerintah untuk proyek berbasis bahan bakar fosil, seperti bandara dan ibu kota baru IKN Nusantara, telah menguras sumber daya keuangan, sehingga mengurangi dana untuk proyek terbarukan.

“Secara keseluruhan, urgensi restrukturisasi komitmen keuangan dan pengembangan inovasi dalam teknologi jaringan listrik untuk mencapai tujuan energi terbarukan Indonesia adalah tanggung jawab negara, bukan dikategorikan sebagai kerugian negara,” ujarnya dikutip dari keterangan tertulis, Selasa (5/11).

Country Director Greenpeace Indonesia, Leonard Simanjuntak, mengatakan pensiun dini PLTU batubara adalah bagian dari proses transisi energi yang cepat dan adil. Hal ini memungkinkan Indonesia mengatasi dampak krisis iklim.

“Biaya untuk transisi energi, termasuk pensiun dini PLTU, tidak bisa dipandang sebagai kerugian negara. Justru, biaya yang dikeluarkan akibat kelalaian dalam transisi energi itulah yang berpotensi menimbulkan kerugian dalam konteks yang lebih luas,” ujar Leonard.

Direktur Eksekutif Kesejahteraan Berkelanjutan Indonesia (Sustain), Tata Mustasya, menyatakan percepatan pembangunan smart grid akibat pensiun dini PLTU batubara merupakan investasi yang menguntungkan bagi Indonesia. Kementerian Keuangan harus berperan sebagai ototita yang berani berinvestasi besar untuk kemajuan masa depan.

"Percepatan transisi energi dan pembangunan smart grid adalah kunci bagi Indonesia untuk bertransformasi menjadi negara maju,” ujar Tata.

Tata mengatakan, investasi pemerintah yang besar di sektor kunci seperti teknologi informasi, aeronotika, medis, dan pengobatan terbukti menjadi kunci keberhasilan negara-negara maju. Pembangunan smart grid dan percepatan transisi energi akan memperkuat ketahanan energi, akses energi yang inklusif, dan mitigasi krisis iklim.

"Keengganan untuk membangun transmisi justru akan menimbulkan ongkos besar bagi Indonesia dalam lima hingga 30 tahun ke depan. Komitmen pemerintah yang jelas juga akan memberikan sinyal positif bagi publik dan investor untuk membiayai energi terbarukan di Indonesia,” kata Tata.




Reporter: Djati Waluyo

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...