Hashim Sebut JETP Program Gagal: Banyak Omon-omon

Ringkasan
- Utusan Khusus Presiden Bidang Iklim menilai Just Energy Transition Partnership (JETP) gagal karena belum ada dana yang dikucurkan oleh Pemerintah AS.
- Pemerintahan Donald Trump diperkirakan akan menghapus program JETP yang menyediakan dana sebesar Rp 325 triliun.
- Pendanaan JETP tidak hanya bergantung pada AS. Jepang dan negara-negara Asia lainnya menjadi penyandang dana utama program ini.

Utusan Khusus Presiden Bidang Iklim dan Energi, Hashim Djojohadikusumo menilai Just Energy Transition Partnership (JETP) adalah program gagal, khususnya pendanaan dari AS. Dua tahun berjalan, belum ada satu pun dana yang dikucurkan oleh Pemerintah AS melalui program tersebut.
Hashim mengatakan program JETP sebesar US$ 20 miliar atau setara Rp 327 triliun yang sebelumnya dijanjikan pemerintahan AS, sudah pasti akan dihapus oleh pemerintahan Donald Trump.
Dirinya mengatakan pernah bertemu dengan utusan khusus dari Presiden Amerika Serikat (AS) bernama John Podesta saat perhelatan Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa atau COP29 di Azerbaijan, pada akhir tahun lalu. Podesta pun bertanya mengenai kelanjutan program JETP.
Menurut Hashim, JETP merupakan program gagal karena tidak ada satu dolar pun yang dikucurkan oleh pemerintah AS.
"Banyak omon-omon ternyata. Hibah US$ 5 miliar dalam US$ 20 miliar itu ternyata gak ada," kata Hashim dalam acara ESG Sustainability Forum 2025 di Jakarta yang dipantau secara daring, Jumat (31/1).
Dia mengatakan terdapat klausul yang menyatakan bahwa hibah US$ 5 miliar yang akan dikucurkan oleh pemerintah AS, baru bisa dicairkan jika dana tersedia. Namun setelah dicek kapan dana tersebut bisa dihibahkan, pemerintah AS menyatakan bahwa dana tersebut tidak tersedia.
"Ini realita pak, yang saya dengar dari kawan-kawan PLN. Jadi kita jangan harapkan deh US$ 20 miliar," ujarnya.
Tidak Hanya dari AS
Sebelumnya, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Kemen ESDM), Eniya Listiani Dewi, optimistis keluarnya AS dari Perjanjian Iklim Paris atau Paris Agreement tidak mempengaruhi pendanaan JETP di Indonesia. Pasalnya, pendanaan JETP tidak hanya berasal dari AS.
“Nah, saya rasa sih nggak terlalu berpengaruh ya. Pendanaan (JETP) tadi kan ada dari Jepang, dari macam-macam,” ucap Eniya Listiani Dewi di Jakarta, Kamis (30/1).
Eniya menjelaskan bahwa tren energi baru dan terbarukan di Indonesia terus meningkat, meskipun partai yang berkuasa di Amerika Serikat berganti-ganti. Ia merujuk pada periode pertama kepresidenan Donald Trump, di mana Amerika Serikat juga menyatakan ke luar dari Paris Agreement.
“Walaupun yang lalu kan ada Republican juga kan, bukan hanya Demokrat. Ini EBT kita kan naik terus dari 2017,” ucap Eniya.
Selain itu, dia mengatakan, banyak pendanaan JETP yang berasal dari negara Asia. Salah satunya adalah proyek pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang sebagian besar berasal dari Jepang, bukan dari Amerika Serikat.
“Jadi, pendanaan yang agresif malah dari wilayah Asia, bukan AS,” ucapnya.