AS Keluar dari Perjanjian Iklim Paris, Bagaimana Nasib JETP di Indonesia?


Keluarnya Amerika Serikat (AS) dari Perjanjian Iklim Paris atau Paris Agreement dikhawatirkan dapat mempengaruhi pendanaan Just Energy Transition Partnership (JETP) di Indonesia. Pasalnya, AS sebelumnya merupakan salah satu negara yang berjanji untuk menggelontorkan dana transisi energi kepada Indonesia melalui JETP.
Menanggapi hal itu, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Kemen ESDM), Eniya Listiani Dewi, optimistis keluarnya AS dari Perjanjian Iklim Paris atau Paris Agreement tidak mempengaruhi pendanaan JETP di Indonesia. Pasalnya, pendanaan JETP tidak hanya berasal dari AS.
“Nah, saya rasa sih nggak terlalu, ya. Pendanaan tadi kan ada dari Jepang, dari macam-macam,” ucap Eniya Listiani Dewi di Jakarta, Kamis (30/1).
Eniya menjelaskan bahwa tren energi baru dan terbarukan di Indonesia terus meningkat, meskipun partai yang berkuasa di Amerika Serikat berganti-ganti. Ia merujuk pada periode pertama kepresidenan Donald Trump, di mana Amerika Serikat juga menyatakan ke luar dari Paris Agreement.
“Walaupun yang lalu kan ada Republican juga kan, bukan hanya Demokrat. Ini EBT kita kan naik terus dari 2017,” ucap Eniya.
Selain itu, dia mengatakan, banyak pendanaan JETP yang berasal dari negara Asia. Salah satunya adalah proyek pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang sebagian besar berasal dari Jepang, bukan dari Amerika Serikat.
“Jadi, pendanaan yang agresif malah dari wilayah Asia, bukan AS,” ucapnya.
Negara Donor Baru
Sebelumnya, Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, mengatakan kebijakan AS akan mempengaruhi komitmen pendanaan transisi energi di Indonesia. Bhima mengatakan, Indonesia tengah membutuhkan anggaran besar untuk membangun pembangkit energi terbarukan dan mempercepat penghentian PLTU batu bara sebagai bagian dari komitmen Presiden Prabowo Subianto di G20.
Bila JETP tidak berjalan, Indonesia berpotensi kehilangan salah satu pinjaman atau donor terbesar di bidang transisi energi. Hal ini juga akan mengancam proyek-proyek yang sedang berjalan atau yang tengah didanai oleh AS.
“Indonesia harus mencari partner baru untuk mendorong kerja sama transisi energi, salah satunya Timur Tengah,” kata Bhima di Jakarta, Kamis (23/1).
Dia mengatakan, Timur Tengah bisa menjadi alternatif kerja sama transisi energi untuk meredam efek keluarnya Amerika Serikat (AS) dari Perjanjian Paris/Paris Agreement. Menurut dia, Timur Tengah adalah mitra yang potensial dan telah terbukti mendukung pembangunan di Indonesia, salah satunya Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Waduk Cirata, Jawa Barat, yang merupakan hasil kerja sama dengan Uni Emirat Arab (UEA). Selain merupakan proyek besar, PLTS itu juga direncanakan untuk diekspansi.