Bahlil Ungkap Alasan RI Masih Gunakan Batu Bara Meski Punya Target NZE 2060

Ringkasan
- OJK menekankan perlunya batas atas emisi per industri untuk meningkatkan permintaan kredit karbon di Bursa Karbon Indonesia, dengan mencontoh kebijakan serupa dari luar negeri yang telah meningkatkan permintaan bursa karbon di negara mereka.
- Penerapan aturan pajak karbon oleh pemerintah, yang mencakup insentif dan disinsentif, dianggap penting untuk mendorong permintaan terhadap kredit karbon, tanpa ini, tidak akan ada dorongan kuat untuk berinvestasi dalam kredit karbon.
- Sejak peluncuran Bursa Karbon dari 26 September 2023 hingga 27 September 2024, telah tercatat nilai perdagangan mencapai Rp37,06 miliar dengan total volume perdagangan karbon sebesar 613.894 tCO2e, menandakan prospek positif dari implementasi bursa karbon di Indonesia.

Indonesia masih akan menggunakan pembangkit listrik tenaga uap baru bara meskipun memiliki target net zero emission (NZE) 2060 atau lebih cepat. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, mengatakan PLTU bara tersebut akan menggunakan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (carbon capture and storage/CCS) untuk menangkap emisi yang kemudian disimpan di bekas sumur minyak serta gas.
“Jadi, judulnya batubara bukan kotor, ini batu bara bersih,” kata dia dalam Indonesia Economic Summit di Jakarta, Rabu (19/2).
Dia mengatakan, Indonesia masih berkomitmen menggenjot kapasitas energi baru terbarukan (EBT) seperti pembangkit tenaga surya dan angin. Namun, EBT tersebut akan dikombinasikan dengan batu bara sehingga harganya lebih kompetitif. Dia menilai harga EBT saat ini masih kurang terjangkau.
“Kita blending agar harganya pas masuk. Karena kalau tidak, saya yakinkan bahwa kita akan mengalami persoalan yang susah," kata dia.
Dia mengatakan, strategi ini dilakukan supaya industri di Indonesia bisa tetap kompetitif dengan produk negara lain.
Dampak AS Keluar dari Perjanjian Paris
Bahlil mengatakan, Indonesia sebenarnya sudah memiliki rencana untuk pensiun dini PLTU batu bara.Bahkan, dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034, pemanfaatan batu bara sebagai pembangkit listrik akan berkurang signifikan dan digantikan dengan gas serta EBT lainnya.
Hal itu merupakan upaya Indonesia untuk memenuhi Perjanjian Iklim Paris. atau Paris Agreement, sebuah inisiatif yang digagas oleh negara maju, termasuk Amerika Serikat (AS). Namun, pasca AS keluar dari Perjanjian Paris karena Donald Trump selaku Presiden mementingkan kepentingan domestik, Bahlil menduga ada kekeliruan dari kesepakatan global tersebut.
Menurut Bahlil, Indonesia juga memiliki tantangan besar implementasi EBT dalam hal biaya produksi listrik dari gas yang ternyata jauh lebih mahal dibandingkan batu bara. Selisih harga gas dan batu bara bisa mencapai Rp5-6 triliun per gigawatt (GW) per tahun.
Apabila Indonesia hendak membangun 10 GW PLTU gas hingga 2029. Maka selisih biaya yang harus ditanggung bisa mencapai Rp50 triliun dalam setahun. Artinya, dibutuhkan Rp 500 triliun hingga tahun 2034 jika ditargetkan pembangunan PLTU gas sebanyak 21 GW.
Untuk menanggung beban biaya sebesar itu, maka opsi yang ada ialah meningkatkan tarif listrik untuk rakyat atau negara memberikan subsidi. Jika negara memilih subsidi, maka beban anggaran bakal semakin besar.
Dia mengatakan, ketersediaan gas juga menjadi masalah tersendiri, mengingat dibutuhkan 250 kargo gas LNG (Liquefied Natural Gas) untuk membangun 10 GW PLTU gas. Hal itu berdasarkan perhitungan 1 GW PLTU gas membutuhkan 25 kargo gas LNG dalam satu tahun. Ini berarti hampir seluruh produksi gas dalam negeri bakal habis dipakai guna memenuhi kebutuhan listrik.
“Jadi, ini dilema yang sangat luar biasa. Sudah harganya tinggi, gas kita dipakai semua ke sana,” ucap Bahlil.
Oleh sebab itulah dia menilai Indonesia masih membutuhkan batu bara. Dia bahkan sudah membicarakan hal itu pada Presiden Prabowo.
“Saya laporkan kepada Pak Presiden, saya bilang kalau batu bara kita ini kan masih banyak, kenapa harus kita ikut gendang negara-negara besar? China, India, masih batubara, cuma di-blending," ujarnya.
Bahlil juga meminta pada Presiden Prabowo untuk membuat strategi agar harga energi tidak mahal, namun tetap membangun energi baru terbarukan.