IESR: Harga Listrik PLTS dan PLTB Lebih Murah, Bisa Bersaing dengan Fosil


Institute for Essential Services Reform (IESR) mencatat harga listrik berbasis energi baru terbarukan (EBT), khususnya pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) atau angin, sudah mampu bersaing dengan pembangkit listrik berbasis fosil.
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, mengatakan saat ini pemanfaatan PLTS sudah mencapai tingkat efisiensi di atas 30 persen dengan menggunakan panel surya berbasis perovskite.
Sebagaimana diketahui, perovskite adalah suatu kelompok mineral yang memiliki struktur kristal khas dan sering digunakan untuk merujuk pada senyawa kimia dengan struktur serupa.
“Saat ini sel surya berbasis perovskite dan tandem solar cell mampu mencapai efisiensi di atas 30%. Jauh lebih tinggi dibandingkan dengan teknologi konvensional yang dulu berkembang,” ujar Fabby dalam konferensi pers virtual, Kamis (27/2).
Fabby mengatakan, efisiensi tenaga surya yang lebih tinggi menyebabkan biaya listriknya semakin turun. Ini membuat energi surya semakin kompetitif, bahkan jika dibandingkan dengan energi fosil.
Selain itu, dia mengatakan, beberapa negara di dunia juga telah menunjukan bahwa kombinasi antara PLTS atau PLTB dengan battery energy storage systems (BESS) merupakan solusi yang membuat harga listrik EBT semakin kompetitif.
“Menurut laporan dari IEA, harga listrik dari kombinasi teknologi ini bahkan sudah lebih murah dibandingkan harga listrik dari gas bahkan dari PLTU sekalipun,” ujarnya.
Berdasarkan kajian IESR, ia mengatakan, harga listrik dari PLTS dan PLTB yang dipadukan BESS akan lebih murah jika dibandingkan PLTU batu bara. Namun perhitungan tersebut tanpa memasukkan kebijakan domestic market obligation (DMO) yang saat ini membuat listrik
“Hal ini menunjukkan bahwa dengan investasi dan regulasi yang tepat, sebenarnya Indonesia juga bisa mengikuti tren global tersebut dengan dan mengamankan energi murah bersih dan handal untuk masa depan,” ucapnya.
Dengan memaksimalkan potensi EBT sampai dengan 2030, maka Indonesia akan mendapatkan dua hal positif dalam satu kali jalan. Dua hal tersebut adalah tercapainya ketahanan energi nasional, dan juga mampu membantu Indonesia dalam menurunkan emisi gas rumah kaca sesuai dengan komitmen pada perjanjian paris.
“Kami dari IESR melihat bahwa upaya kita untuk melakukan transisi energi itu sebenarnya bisa diselaraskan dengan upaya Indonesia untuk memangkas emisi gas rumah kaca secara ambisius untuk mencapai target Paris Agreement,” ungkapnya.