Target Produksi Migas dan Batu Bara Global Meningkat, Ancam Ambisi Iklim
Laporan Production Gap 2025 yang diterbitkan oleh Stockholm Environment Institute (SEI) menunjukkan pemerintah di seluruh dunia tengah meningkatkan ekstraksi batu bara, gas, dan minyak yang berpotensi menggagalkan pencapaian target iklim.
Alih-alih mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, negara-negara justru merencanakan tingkat produksi yang lebih tinggi dalam beberapa dekade mendatang dibandingkan dengan tahun 2023. Peningkatan ini bertentangan dengan komitmen negara-negara pada konferensi iklim PBB untuk bertransisi dari bahan bakar fosil dan menurunkan produksinya, khususnya batu bara.
Direktur Program di Stockholm Environment Institute (SEI) di AS, Emily Ghosh mengatakan jika semua rencana ekstraksi baru terealisasi, dunia akan memproduksi lebih dari dua kali lipat jumlah bahan bakar fosil pada 2030, dibandingkan dengan tingkat yang konsisten untuk menjaga kenaikan suhu global tetap di bawah 1,5°C di atas level praindustri.
“Produksi bahan bakar fosil seharusnya sudah mencapai puncaknya dan mulai menurun. Setiap tahun keterlambatan (untuk mencapai puncak dan penurunan cepat yang dibutuhkan) akan semakin meningkatkan tekanan (terhadap iklim),” katanya dikutip dari The Guardian, Rabu (24/9).
Laporan yang diterbitkan oleh Climate Analytics, dan International Institute for Sustainable Development ini menganalisis 20 produsen utama bahan bakar fosil di dunia, termasuk AS, Rusia, Arab Saudi, Tiongkok, Kanada, Brasil, Australia, dan Inggris, yang secara kolektif mewakili sekitar 80% produksi global.
Hanya Inggris, Australia, dan Norwegia yang berencana mengurangi produksi minyak dan gas pada 2030 dibandingkan dengan tahun 2023. Sebelas dari 20 negara yang disurvei justru meningkatkan rencana produksi mereka sejak analisis terakhir pada 2023.
Beberapa Negara akan Kurangi Produksi Batu Bara
Beberapa negara memang merencanakan pengurangan produksi batu bara, termasuk Tiongkok, AS, Jerman, dan Indonesia. Namun India, Rusia, Kolombia, dan Australia justru akan meningkatkan penambangan.
Permintaan terhadap bahan bakar fosil juga menjadi faktor kunci negara-negara harus mengejar energi terbarukan dan meningkatkan efisiensi penggunaan energi agar tidak perlu lagi membuka produksi minyak, gas, dan batu bara baru.
Neil Grant dari Climate Analytics mengatakan, sejauh ini, pertumbuhan energi terbarukan hanya menjadi tambahan di samping permintaan bahan bakar fosil, dan kita belum melihat puncak permintaan.
“Tapi melihat kecepatan perubahan sistem energi, hal itu bisa berubah cukup signifikan,” kata Grant.
Seiring transportasi, pemanas, dan fungsi lain beralih ke listrik, kebutuhan energi primer akan menurun, karena elektrifikasi jauh lebih efisien. Namun berkurangnya permintaan bahan bakar fosil juga bisa membuat harganya lebih murah, yang justru memicu efek rebound.
