CREA: Target Penghentian Operasional PLTU Mundur, Transisi Energi Terhambat
Centre for Research on Energy and Clean Area (CREA) menilai, upaya Indonesia untuk mengakselerasi transisi energi melalui penghentian operasional Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara bergerak mundur. Analis CREA Katherine Hasan mengatakan, laporan kemajuan Just Energy Transition Partnership (JETP) tidak memiliki rencana yang jelas untuk mengendalikan pembangkit batu bara.
"Upaya tersebut memburuk di saat negara-negara di dunia justru menunjukkan kemajuan dalam membuktikan komitmen mencapai target nol emisi (net zero emissions atau NZE) dengan reformasi sistem energinya," kata Katherine, dalam pernyataan resmi, Senin (24/11).
Menurutnya, Indonesia bahkan menjadi satu-satunya negara yang membiarkan kenaikan kapasitas PLTU captive hampir empat kali lipat dalam enam tahun terakhir, dari 5,5 gigawatt (GW) pada 2019 menjadi hampir 20 GW pada 2025. Kapasitas PLTU ini diperkirakan meningkat menjadi 31,5 GW lima tahun mendatang sejalan dengan inisiatif hilirisasi yang dicanangkan pemerintah.
Katherine menyebut laporan itu tidak hanya gagal mengatasi kapasitas PLTU yang berkembang pesat, namun juga secara efektif membongkar moratorium PLTU batu bara melalui celah regulasi yang masih ada. Hal ini berisiko semakin luas dengan wacana revisi yang tengah didiskusikan.
"Ketergantungan pada skema pengurangan emisi karbon yang meragukan, serta kebijakan taksonomi hijau yang tidak memadai sehingga memberikan ruang bagi kegiatan berbasis batu bara dan celah untuk praktik greenwashing,” ujar Katherine.
Masih Ada Celah Regulasi
Dia menjelaskan, kegagalan ini terjadi karena masih adanya celah regulasi dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2022 yang secara eksplisit memperbolehkan ekspansi PLTU captive terus berlanjut.
Katherine menjelaskan, pemerintah melalui usulan revisi tersebut seharusnya bisa menutup peluang perluasan energi kotor batu bara, bukan justru menghapus mandat moratorium PLTU termasuk pemanfaatan teknologi co-firing biomassa yang akan berpotensi menambah beban keuangan dan kesehatan, sekaligus menyebabkan emisi gas rumah kaca yang signifikan melalui dampak penggunaan lahan dan risiko deforestasi.
"Indonesia harus menutup celah kebijakan agar tidak menjadi outlier internasional dalam mencapai target net zero emissions, dan tidak malah membebani masa depan dengan mengalihkan beban finansial dan dampak lingkungan PLTU batu bara," katanya.
Tidak hanya meleset dari sasaran untuk menghentikan PLTU, Katherine mengatakan, JETP juga dengan jelas menetapkan target yang konservatif untuk pembangkit energi surya dan angin yang terbukti memiliki potensi tinggi dan kompetitif dari segi biaya.
"Pemilihan jenis energi yang kurang optimal seperti pembangkit tenaga air skala besar dan bioenergi justru menunjukkan kekeliruan strategi yang secara langsung melemahkan upaya Indonesia untuk mencapai target pengurangan emisi setelah tahun 2030," tuturnya.
Selain itu, target konservatif dalam komitmen Second Nationally Determined Contribution (SNDC) Indonesia hanya menargetkan 19 hingga 23% pangsa energi terbarukan dalam bauran energi primer pada tahun 2030 dan puncak emisi sektor energi pada tahun 2038, yang dianggap sebagai skenario ‘business as usual’.
JETP Tak Sejalan Visi Prabowo untuk PLTS 100 GW
Pendiri dan Analis Utama CREA, Lauri Myllyvirta mengatakan, strategi yang ditetapkan JETP saat ini pada dasarnya sama seperti komitmen SNDC Indonesia, tidak sejalan dengan visi Presiden Prabowo Subianto yang ingin mencapai 100 GW Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), dan melakukan pengakhiran pembangkit listrik berbasis fosil pada tahun 2040.
Menurutnya ketidaksinkronan ini melemahkan kredibilitas Indonesia di mata investor internasional serta berpotensi menghambat penyaluran pendanaan transisi energi senilai US$ 21,6 miliar dari negara mitra JETP.
“Hanya dengan menyelaraskan kembali target dengan visi ini, Indonesia dapat membuka investasi yang dibutuhkan untuk merombak total ketergantungan struktural yang berkelanjutan pada pembangkit listrik batu bara,” kata Lauri.
