Hasil COP30 Belum Optimal, IESR Desak Indonesia Tingkatkan Ambisi Iklim
Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai hasil kesepakatan di COP30 Brasil atau Global Mutirão belum sepenuhnya mampu mendorong dunia bertindak cepat dan tegas dalam menghadapi krisis iklim.
Koordinator Kebijakan Iklim IESR, Delima Ramadhani mengatakan aspek transisi berkeadilan (just transition) belum mendapat penekanan yang kuat dalam dokumen Global Mutirão.
“IESR menyoroti masih lemahnya komitmen ambisi iklim global ditandai dengan tidak tercapainya gagasan peta jalan penghentian penggunaan bahan bakar fosil serta komitmen pendanaan iklim yang belum konkret,” kata dikutip, Selasa (9/12).
Sebagai informasi, pertemuan global tersebut menghasilkan dokumen Gotong Royong Global atau Global Mutirão yang memuat inisiatif baru. Ini antara lain Global Implementation Accelerator (GIA) untuk mempercepat implementasi aksi dan mitigasi iklim dalam Nationally Determined Contribution (NDC) serta Belém Mission to 1.5 untuk mendorong ambisi dan investasi iklim.
Mekanisme Global Stocktake bertujuan menilai progres implementasi, ambisi, dan kesenjangannya terhadap target pembatasan kenaikan suhu 1,5°C. Hasilnya menegaskan bahwa untuk menjaga suhu global tidak meningkat lebih dari 1,5°C, emisi global harus turun 43% pada 2030 dan 60% pada 2035 dibandingkan tingkat emisi tahun 2019.
Meskipun pasca COP30 sebanyak 122 negara telah memformalkan NDC 2035, analisis Climate Action Tracker memproyeksikan bahwa suhu bumi pada akhir abad ini akan naik sekitar 2,6°C dengan 50% probabilitas untuk lebih tinggi atau lebih rendah.
Dalam SNDC, Indonesia menetapkan target 2035 tanpa memperbarui target 2030-nya padahal hal ini penting sebagai tindak lanjut hasil Global Stocktake. Menurut Delima, dari sisi cakupan, NDC Indonesia sudah cukup komprehensif karena memuat sektor energi, industri, pertanian, limbah, serta tambahan sektor kelautan.
Selain itu, secara transparansi meningkat, di mana target penurunan diubah dengan format emisi absolut di bawah tahun referensi 2019.
“Pemerintah menyampaikan niat untuk melampaui target bersyarat 2030, tetapi tanpa diformalkan, langkah ini belum menunjukkan perbaikan nyata terhadap target jangka pendek,” kata dia.
Dalam sektor energi, lanjutnya, pemerintah menargetkan puncak emisi pada 2038, lebih lambat dari proyeksi sebelumnya.
“Ini menunjukkan bahwa strategi pembangunan ekonomi Indonesia masih bergantung tinggi karbon,” jelas Delima.
Selain itu, dia melihat Indonesia juga tidak menyertakan komitmen eksplisit untuk phase-outbahan bakar fosil atau pengurangan batu bara secara bertahap. Bahkan, penggunaan batu bara masih dipertahankan dengan teknologi clean coal dan co-firing biomassa dalam bauran kebijakan energi.
“Hasil analisis IESR menunjukkan bahwa penurunan emisi Indonesia masih sangat bergantung pada sektor kehutanan dan lahan, bukan pada pengurangan nyata di sektor energi. Di luar penyerapan dari sektor FOLU, emisi nasional diproyeksikan naik hingga 98% dalam skenario tidak bersyarat, atau 54–84% di atas emisi historis 2019 dalam skenario bersyarat atau dengan bantuan internasional,” terangnya.
Peluang Indonesia Ambil Peran Global
Manajer Diplomasi Iklim dan Energi IESR, Arief Rosadi, menyatakan bahwa Indonesia memiliki peluang politik yang kuat untuk mengambil peran kepemimpinan di antara negara Global South dalam menjaga semangat aksi iklim pasca-COP30.
Hal ini selaras dengan pernyataan Presiden Prabowo Subianto di berbagai forum internasional serta target nasional untuk mencapai 100% energi terbarukan pada tahun 2035 sebagaimana disampaikan dalam pidato kenegaraan di MPR.
Untuk itu menurutnya komitmen ini perlu diwujudkan dalam tiga langkah strategi. Pertama, memperjuangkan isu iklim dan transisi energi dalam forum internasional sebagai jangkar pembangunan hijau.
Peran ini harus dilakukan dengan memberikan teladan yakni memastikan bahwa kebijakan domestik benar-benar mencerminkan ambisi iklim yang tinggi. Kedua, mendorong penerjemahan keputusan multilateral menjadi kemitraan konkret.
“Indonesia memiliki rekam jejak sebagai pemimpin dalam menyediakan fondasi proses global, baik saat menjadi host COP-13 yang menghasilkan Bali Roadmap. G20 Chairmanship (2022) yang melahirkan Bali Compact dan Bali Energy Transition Roadmap, serta pada saat keketuaan ASEAN yang menghasilkan ASEAN Strategy for Carbon Neutrality. ” tambah Arief.
Ketiga, mengamplifikasi keputusan dan inisiatif yang mendukung energi terbarukan. Indonesia, menurutnya perlu mengadopsi serta menggaungkan keputusan formal maupun inisiatif non-formal dari COP30 yang secara praktik mendorong akselerasi energi terbarukan dan penghapusan bertahap bahan bakar fosil.
“Salah satu ide yang dapat digaungkan adalah “roadmap on transition away from fossil fuel,” untuk dipromosikan di forum multilateral lainnya di luar COP,” tandasnya.
