RI Butuh Investasi Rp 862 T per Tahun Untuk Nol Emisi Karbon pada 2050
Institute for Essential Services Reform (IESR) telah menghitung kebutuhan investasi untuk mempercepat target net zero emission (NZE) atau nol emisi karbon pada 2050, khususnya untuk sektor infrastruktur kelistrikan, transportasi dan industri setelah tahun 2030.
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa mengatakan Indonesia paling tidak membutuhkan investasi sebesar US$ 20-25 miliar per tahun dari 2020 hingga 2030. Terutama yang dibutuhkan untuk meningkatkan upaya dekarbonisasi.
"Setelah 2030 sampai 2050 rata-rata US$ 45 miliar sampai US$ 60 miliar per tahun untuk mencapai dekarbonisasi," kata Fabby dalam peluncuran laporan Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2022, Senin (20/12).
Dengan kondisi kebutuhan investasi yang cukup besar, dia berharap agar pemerintah tidak melihatnya sebagai beban. Sebab, ini menjadi kesempatan dalam hal berinvestasi di sektor baru. "Yang harus dilakukan pemerintah yakni menggunakan kemampuan APBN, APBD, untuk investasi pada pemetaan sumber daya," ujarnya.
Sehingga ketika investor tertarik untuk menanamkan investasinya di Indonesia, mereka tak perlu lagi mencari-cari letak sumber daya yang akan dikembangkan. Selain itu, pemerintah juga perlu melakukan pilot project, terutama untuk menguji sebuah teknologi baru dari pembangkit energi terbarukan.
"Kalau kita bisa melihat menggunakan teknologi yang tepat ke depannya bisa dikembangkan secara optimal," katanya. Simak databoks berikut:
Strategi Terbaik Dekarbonisasi
Pemerintah telah menetapkan komitmennya untuk melakukan transisi energi dengan memasukan porsi kapasitas pembangkit energi terbarukan yang lebih besar. Terutama yang ada di dalam RUPTL PLN 2021-2030 yakni 51% atau sebanyak 20.923 megawatt (MW) pada 2030.
Namun menurut kajian IESR, untuk selaras dengan target dekarbonisasi 1,5 derajat Celsius, maka setidaknya Indonesia membutuhkan 140 gigawatt (GW) pembangkit energi baru terbarukan (EBT) yang terutama berasal dari pembangkit surya atau PLTS pada 2030.
IESR memandang untuk mencapai target yang besar, maka perlu evaluasi yang serius terhadap kualitas kebijakan dan regulasi yang ada saat ini. Dalam lima tahun terakhir, sejak PP No. 79/2014 tentang KEN disahkan, laju pertumbuhan energi terbarukan cenderung lambat.
Data dari IETO 2022 menunjukkan bahwa dalam 5 tahun terakhir, energi terbarukan rata-rata hanya bertambah 400 MW. Selain itu, pemerintah juga masih memberikan tempat bagi batu bara dalam skenario transisinya seperti dalam program penggunaan CCS/CCUS pada PLTU batu bara, gasifikasi batu bara, bahkan co firing batu bara.
Menurut IESR, penggunaan teknologi CCS/CCUS pada PLTU akan berdampak pada harga listrik lebih mahal dan meningkatnya risiko potensi aset terdampar yang lebih besar karena biaya yang tidak kompetitif.
Selain itu, penerapan teknologi co-firing dan clean coal technology seperti ultra-supercritical menghasilkan penurunan emisi yang tidak signifikan, sehingga membuat penggunaan teknologi ini dipertanyakan efektivitasnya.
Manager Program Transformasi Energi, IESR Deon Arinaldo menilai biaya pembangkitan listrik dari penggunaan CCS pada PLTU akan bersaing dengan teknologi energi terbarukan dengan storage. Sejauh ini, PLTU dengan CCS yang beroperasi di dunia masih punya kendala pada operasi dan pencapaian penurunan emisinya.
Bahkan salah satu proyek PLTU dengan CCS tersebut, seperti Petra Nova di Texas ditutup setelah baru beroperasi selama kurang lebih 4 tahun. Jadi, kesiapan teknologi saat ini, serta proyeksi harga teknologi dalam dekade mendatang harusnya menjadi pertimbangan utama.
"Jelas bahwa prioritas harus diberikan pada teknologi dengan biaya paling kompetitif yaitu energi terbarukan," katanya.
Salah satu Penulis IETO 2022, Handriyanti Diah Puspitarini menilai meski belum mencapai target yang ditetapkan. Namun kapasitas terpasang energi terbarukan terutama dari PLTS menggeliat di hanya 17,9 MWp, dan kendaraan listrik seperti motor listrik mengalami sedikit kenaikan sebanyak 5.486-unit dan mobil listrik sebanyak 2.012 unit.
Hal ini dapat menjadi potensi yang perlu dikembangkan di tahun 2022. Sehingga pemerintah perlu mendorong pengembangkan teknologi yang diproduksi secara lokal untuk menangkap peluang lebih besar seperti penurunan belanja modal proyek EBT.
Selain itu, pengembang lebih mudah mendapatkan teknologi dengan kualitas tinggi dan harga yang murah tanpa perlu impor. "Dengan demikian, akan banyak investasi bukan hanya pada proyek energi terbarukan sendiri, tetapi ke sektor industri di Indonesia secara umum," katanya.