Mengenal Istilah Quiet Quitting, Pengertian, dan Penyebabnya
Akhir-akhir ini istilah quiet quitting ramai dibicarakan, terutama di platform media sosial TikTok. Tidak ada yang dapat memverifikasi siapa yang menciptakan istilah atau frasa ini. Namun, yang jelas istilah ini populer sejak pertengahan 2022.
Tak dapat disangkal, quiet quitting telah memicu perdebatan sengit tentang budaya tempat kerja. Meski istilah ini tidak ada hubungannya dengan benar-benar berhenti dari pekerjaan, tren ini dilihat sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas, yakni menetapkan kembali batasan kehidupan kerja.
Istilah quiet quitting muncul, karena keterlibatan pekerja, yakni salah satu ukuran yang digunakan untuk mengevaluasi keterlibatan dan antusiasme di tempat kerja, telah turun sejak paruh kedua 2021.
Nah, apa sebenarnya quiet quitting itu, dan bagaimana sifat ini bisa muncul di tempat kerja, khususnya di kalangan generasi millenial dan generasi Z (Gen Z). Simak ulasan berikut ini.
Apa Sebenarnya Quiet Quitting itu?
Mengutip Investopdia, quiet quitting adalah istilah yang mengacu pada sifat atau tindakan seseorang, utamanya karyawan suatu perusahaan, untuk melakukan persyaratan minimum dan tidak menghabiskan lebih banyak waktu, tenaga, atau antusiasme daripada yang benar-benar diperlukan.
Quiet quitting tidak berarti bahwa seseorang benar-benar berhenti dari pekerjaan. Melainkan hanya melakukan apa yang diperlukan dan kemudian melanjutkan hidup. Tujuannya, untuk mencapai lebih banyak keseimbangan antara kehidupan pribadi dan pekerjaan.
"Karyawan masih melakukan tugasnya, tetapi tidak lagi tunduk pada mentalitas lama, bahwa pekerjaan harus menjadi hidup," kata Zaid Khan, seorang insinyur perangkat lunak dan musisi berusia 24 tahun asal New York, dikutip dari World Economic Forum.
Istilah quiet quitting ini, utamanya populer di kalangan pekerja yang masuk dalam kategori generasi millenial dan generasi Z.
Secara sederhana, inti dari quiet quitting, adalah tetap melakukan pekerjaan Anda, tetapi tidak "melampaui" atau secara sukarela melakukan pekerjaan tambahan yang tidak dibayar atau dihargai.
Fenomena ini telah memicu berbagai reaksi. Namun, penting untuk dicatat bahwa tidak hanya ada satu cara untuk melakukan quiet quitting. Secara umum, ada tiga pendekatan yang mewakili sikap quiet quitting, yaitu sebagai berikut:
1. Checking-Out
Checking-out dapat diterjemahkan sebagai sikap sinis yang ditonjolkan oleh seorang karyawan di tempat kerja. Jajak pendapat yang dilakukan Gallup menunjukkan, bahwa keterlibatan atau keaktifan pekerja saat ini cenderung turun.
Tagar "act your wage" sedikit banyak menjelaskan fenomena ini. Tagar tersebut seolah mengatakan, bahwa jika seseorang dibayar minimum, maka ia akan melakukan pekerjaan seminimal mungkin.
2. Melakukan Pemogokan Parsial
Pemogokan merupakan strategi klasik buruh, agar didengar oleh manajemen perusahaan. Nah, cara ini juga kerap diambil dan menjadi sinyal dari quiet quitting. Bedanya, quiet quitting hanya melakukan pemogokan sebagian atau parsial.
Caranya, dengan menolak melakukan pekerjaan di luar jam kerja, serta menolak tugas yang di luar deskripsi pekerjaan. Tindakan ini diambil, untuk menarik perhatian pada nilai pekerjaan seseorang, dan mencari pengakuan, serta kompensasi yang sesuai.
Seperti pemogokan buruh, tujuannya adalah negosiasi ulang syarat-syarat kerja agar lebih adil. Harapannya, adalah memberi tekanan pada pemberi kerja untuk menetapkan ekspektasi yang lebih jelas, menulis deskripsi pekerjaan yang akurat, dan memberikan kompensasi yang sesuai.
3. Taking Charge
Taking charge atau mengambil alih, dapat dimaknai sebagai sinyal quiet quitting yang paling positif. Bisa dikatakan, tindakan ini mewakili penegasan kontrol, penyeimbangan kembali hubungan kerja.
Ketimbang melakukan pekerjaan seminimal mungkin, taking charge lebih menonjolkan komitmen seseorang untuk menetapkan batas secara tegas dalam pekerjaan.
Fokusnya adalah untuk hadir sepenuhnya saat bekerja, serta melakukan yang terbaik sesuai deskripsi pekerjaan. Di saat yang sama, pekerja juga berusaha untuk menjaga kesehatan, kesejahteraan, hubungan, dan aktivitas di luar pekerjaan.
Ini dimulai dengan manajemen diri, dan belajar untuk mengatakan tidak, sambil tetap berkomitmen pada tanggung jawab inti, serta memberikan nilai tambah pada bidang kerja atau deskripsi kerja yang diberikan/dipercayakan.
Mengambil sikap quiet quitting ini tidak muncul begitu saja. Melainkan ada sesuatu yang menjadi pemicu atau trigger seseorang akhirnya bersikap pasif.
Penyebab Quiet Quitting
Mengutip teambuilding.com, setidaknya ada enam penyebab seorang atau beberapa karyawan melakukan quiet quitting.
1. Beban Kerja Berlebih
Salah satu keluhan umum dari orang yang melakukan quiet quitting, adalah karena "melakukan pekerjaan dua hingga tiga karyawan". Orang-orang yang melakukan quiet quitting umumnya adalah karyawan yang dulu bersemangat, namun karena terlalu terbebani dan bekerja terlalu keras hingga kelelahan.
Seringkali, peningkatan beban kerja ini terjadi sebagai akibat dari pergantian staf. Ketika satu karyawan pergi, anggota tim lainnya mengambil peran kosong tersebut sampai karyawan baru tiba. Karyawan dapat menjadi lelah, dan frustrasi ketika menunggu lama untuk anggota tim pengganti atau pergantian yang sering.
Pekerjaan yang berlebihan ini, juga dapat diakibatkan oleh seorang karyawan yang mengambil kelonggaran untuk anggota tim lainnya dan kurangnya akuntabilitas dalam kelompok.
Suasana yang terlalu kompetitif juga dapat menciptakan kondisi ini. Karyawan mungkin merasa perlu melakukan pekerjaan ekstra, untuk bersaing dengan rekan kerja, atau untuk membuktikan diri.
Dalam banyak kasus, percakapan tentang beban kerja bersifat satu arah, dengan pemberi kerja mendikte ekspektasi tanpa ada ruang bagi karyawan untuk menyuarakan keprihatinan atau menegosiasikan batasan.
2. Kompensasi yang Buruk
Salah satu argumen quiet quitting adalah "hanya melakukan pekerjaan di mana Anda dibayar". Banyak pekerja yang melakukan quiet quitting, merasa bahwa mereka melakukan terlalu banyak pekerjaan dengan bayaran yang terlalu kecil.
Akar masalah yang sebenarnya adalah, karyawan merasa tidak merasa dihargai terhadap pekerjaan yang dilakukan. Akibatnya, karyawan mengurangi kinerjanya di kantor atau tempat kerja.
Selain uang, masalahnya lainnya adalah rasa hormat. Ketika tidak diberikan penghargaan karena bekerja ekstra, karyawan merasa atasan tidak menghargai pengorbanan dan usaha yang sudah dilakukan. Akibatnya, karyawan merasa dimanfaatkan.
Perlu dicatat, kompensasi ini bisa lebih dari gaji. Di luar kenaikan gaji langsung, pemberi kerja mungkin menawarkan jaminan promosi dengan batas waktu yang jelas untuk kenaikan kompensasi. Atasan juga dapat memberikan tunjangan dan fasilitas, seperti hari libur ekstra, makanan gratis, dan otonomi untuk memilih proyek.
3. Batas-batas yang Kabur
Quiet quitting terkadang merupakan reaksi terhadap keseimbangan kehidupan kerja yang buruk, dan pengabaian terhadap batasan pekerjaan dan kehidupan pribadi. Ini lah yang disebut "batas-batas yang kabur", karena seseorang seringkali masih diributkan dengan urusan pekerjaan, meski sudah berada di luar jam kerja atau bahkan saat libur.
Hal ini terkadang muncul kala rekan kerja atau atasan terus-menerus menelepon atau mengirim e-mail setelah jam kerja, dan mengharapkan karyawan untuk menjawab. Mungkin juga terjadi ketika urusan pekerjaan mengganggu liburan, atau manajer menolak permintaan untuk cuti.
Kondisi batas-batas yang kabur ini pun tidak terjadi karena keadaan darurat kerja yang sesekali. Melainkan, berulang kali terjadi.
Karyawan yang merasa bahwa perusahaan tidak menghormati waktu pribadi, akan menggunakan cara ekstrem dan menegakkan batasan tersebut secara mutlak, salah satunya melakukan quiet quitting.
4. Kurangnya Dukungan
Karyawan sering kali mampu dan mau menanggung kondisi kerja yang sulit, ketika mereka tahu atasan ada di pihak mereka. Atasan yang peduli dan perhatian dapat membantu menjaga karyawan tetap termotivasi.
Namun, seorang karyawan bisa mengerem kinerja dan mengambil sikap quiet quitting, ketika mereka merasa atasan tidak memikirkan kepentingan terbaik, atau tidak dapat mengadvokasi mereka.
Atasan ini belum tentu atasan yang buruk, tetapi mungkin tidak sadar, kewalahan, atau tidak efektif dalam meringankan beban karyawan. Dalam banyak kasus, karyawan mengungkapkan keprihatinan mereka dan meminta bantuan. Tetapi, para pemimpin bertindak terlalu lambat atau tidak pernah mengambil tindakan.
Seringkali, alih-alih berempati atau menawarkan solusi, atasan bisa mendorong pekerja untuk bekerja keras. Karyawan akhirnya mengambil tindakan sendiri, dan menarik diri ketika manajer mereka tidak mendukung.
5. Harapan yang Tidak Jelas
Quiet quitting juga dapat timbul, apabila karyawan merasa atasan memiliki harapan yang tidak realistis, dan menuntut hal yang tidak masuk akal.
Sederhananya, orang yang melakukan quiet quitting, merasa perusahaan meminta terlalu banyak di luar deskripsi pekerjaan tanpa melakukan diskusi sebelumnya.
Karyawan tersebut akhirnya bekerja pada posisi yang sama sekali berbeda dari apa yang mereka terima dan harapkan, atau mengambil peran ganda. Atau bisa jadi melakukan pekerjaan di dua atau tiga posisi berbeda. Mungkin juga karena tujuan dan metrik yang ditetapkan berubah terus-menerus atau tidak jelas sama sekali.
Karyawan mungkin percaya bahwa mereka melakukannya dengan baik dan melampauinya, tetapi atasan terus meminta lebih banyak atau tidak memberikan umpan balik tentang kinerja yang baik tersebut.
Dalam beberapa kasus, quiet quitting juga timbul karena karyawan salah memahami harapan manajer, dan manajer gagal memperbaiki kesalahpahaman ini.
6. Komunikasi yang Buruk
Terkadang, quiet quitting terjadi karena seorang karyawan tidak tahu bagaimana mengungkapkan masalah mereka, atau takut untuk mengungkapkannya.
Karyawan mungkin menganggap atasan mengabaikan kekhawatiran mereka, tidak menjelaskan masalah ini secara memadai atau salah berasumsi bahwa pimpinan sudah mengetahuinya.
Mungkin karyawan tersebut takut akan konflik, dan tidak pernah mengangkat masalah, kemudian diam-diam menarik diri alih-alih memberanikan diri untuk mengungkapkan masalah.