Memahami Pengertian dan Ketentuan Pajak Hibah
Pajak hibah merupakan salah satu aspek penting dalam ranah perpajakan Indonesia, yang berkaitan dengan pemberian harta tanpa imbalan di dalam masyarakat.
Pemberian hibah merupakan tindakan sukarela untuk mentransfer kekayaan dari satu pihak ke pihak lain tanpa persyaratan pengembalian. Ini telah menjadi cara yang umum digunakan untuk mengekspresikan perhatian, empati, dan dukungan antara individu, keluarga, atau entitas bisnis.
Dalam konteks ini, pemerintah menetapkan regulasi untuk mengatur transaksi hibah dan menetapkan kewajiban pajak yang relevan bagi pihak-pihak yang terlibat. Dengan demikian, pajak hibah menjadi instrumen penting dalam menjaga keseimbangan dan keadilan dalam sistem perpajakan suatu negara. Mari simak penjelasan berikut ini.
Pengertian Hibah
Hibah adalah salah satu bentuk pemberian harta tanpa imbalan yang umum dilakukan oleh masyarakat di Indonesia. Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, hibah merupakan perjanjian di mana pemberi dengan sukarela dan sadar menyerahkan benda kepada penerima tanpa mengharapkan imbalan.
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan hibah sebagai pemberian dengan sukarela yang mengalihkan hak atas sesuatu kepada orang lain.
Sementara penghibahan, sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata BAB X Penghibahan Bagian I Pasal 1666, adalah persetujuan di mana penghibah menyerahkan suatu barang tanpa bisa menariknya kembali, untuk kepentingan penerima.
Dengan demikian, hibah merupakan pemberian harta atau benda kepada orang lain, sementara penghibahan adalah proses atau cara pemberian hibah itu sendiri. Benda yang dapat dihibahkan meliputi harta bergerak dan tidak bergerak seperti uang, kendaraan, tanah, bangunan, saham, dan lain-lain.
Menurut Pasal 1682 KUHPerdata, hibah dianggap sah secara hukum jika dilakukan dengan akta notaris, meskipun hibah berupa barang bergerak atau surat piutang tetap sah tanpa akta notaris jika diserahkan secara resmi dan jelas, sesuai Pasal 1687 KUHPerdata.
Ketentuan Objek Pajak Hibah
Objek pajak hibah diatur dalam Pasal 4 ayat (1) angka 4 UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas UU Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh).
Menurut ketentuan tersebut, segala bentuk penghasilan yang diterima oleh wajib pajak, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, yang dapat digunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan, termasuk hibah, akan menjadi objek pajak.
Namun, terdapat hibah yang dikecualikan dari objek pajak sesuai dengan Pasal 2 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan No. 90/PMK.03/2020 tentang Bantuan atau Sumbangan, serta Harta Hibahan yang Dikecualikan sebagai Objek PPh. Ini berarti bahwa tidak semua hibah akan dikenakan pajak, tergantung pada ketentuan yang berlaku.
Ketentuan ini menetapkan syarat-syarat di mana hibah akan dikecualikan dari objek PPh, antara lain:
- Hibah akan terbebas dari pajak penghasilan apabila diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dengan catatan tidak ada keterkaitan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara kedua belah pihak.
- Hibah tidak akan dikenai pajak PPh jika ditujukan kepada badan keagamaan, asalkan tidak terdapat hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara kedua belah pihak.
- Badan pendidikan juga akan terbebas dari PPh atas hibah yang diterima, asal tidak ada keterkaitan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara kedua belah pihak.
- Hibah yang diberikan kepada badan sosial, termasuk yayasan, tidak akan dikenakan pajak penghasilan, jika tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara kedua belah pihak.
- Koperasi juga akan bebas dari PPh atas hibah yang diterima, selama tidak ada keterkaitan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara kedua belah pihak.
- Hibah yang diberikan kepada individu yang menjalankan usaha mikro dan kecil tidak akan dikenakan PPh, asalkan tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara kedua belah pihak.
Subjek pajak hibah adalah pemberi dan penerima hibah. Menurut UU PPh, subjek pajak penghasilan mencakup orang pribadi, badan, dan Bentuk Usaha Tetap (BUT).
Ketentuan Terkait Pajak Hibah untuk Pemberi dan Penerima
Dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 90 tahun 2020, disebutkan bahwa pemberi hibah dapat mengurangkan nilai hibah dari penghasilan bruto mereka saat menghitung penghasilan yang akan dikenakan pajak.
Artinya, jika seorang wajib pajak memberikan hibah kepada pihak lain, maka jumlah penghasilan yang akan dikenakan pajak akan dikurangi dengan nilai hibah tersebut, sebelum dikalikan dengan tarif pajak yang berlaku.
Selain itu, dalam Pasal 2 ayat (2) PMK 90/2020, dijelaskan bahwa jika pemberi hibah mendapatkan keuntungan dari pengalihan harta yang dihibahkan, maka keuntungan tersebut akan menjadi objek PPh bagi pihak yang memberi hibah.
Keuntungan dari pengalihan harta yang diberikan sebagai hibah, adalah selisih antara harga pasar dan nilai buku fiskal sisa jika pemberi hibah wajib mempertahankan pembukuan, atau nilai perolehan jika pemberi hibah tidak wajib mempertahankan pembukuan.
Sementara, bagi penerima hibah yang memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan, hibah yang diterimanya tidak akan menjadi objek pajak. Namun, jika pihak penerima tidak termasuk dalam kategori yang dikecualikan dari objek PPh, maka ia akan diwajibkan membayar pajak atas hibah yang diterimanya.
Dengan demikian, pemahaman yang baik tentang aturan dan implikasi pajak hibah dapat membantu individu dan entitas untuk membuat keputusan yang tepat dalam melakukan transfer harta kekayaan, dengan tetap memperhatikan kewajiban pajak yang terkait.