Eka Tjipta Widjaja Jatuh-Bangun Merintis Bisnis Kertas Tjiwi Kimia
Generasi 1990-an pernah merasakan sensasi membereskan perlengkapan sekolah di awal tahun ajaran baru, termasuk menyiapkan buku tulis. Merek buku yang cukup melekat pada generasi ini yakni Sinar Dunia alias SIDU dan Big BOSS atau lebih dikenal Campus.
Meskipun desain dan tipe kedua produk tersebut berbeda, mereka dirilis dari satu pabrik, yakni PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia. Produsen kertas itu berdiri 2 Oktober 1972, lewat tangan konglomerat Eka Tjipta Widjaja. Nama perusahaan Tjiwi Kimia pun diambil dari akronim sang pendiri, yakni Tjipta Widjaja. Pabriknya berada di Mojokerto, Surabaya.
Dulunya, perusahaan ini fokus pada bisnis pembuatan soda api. Keputusan tersebut dipilih Eka, setelah sekian lama berkutat di industri tekstil dan sumber daya. Pabrik ini mengolah ampas tebu dari pabrik gula di Jawa Timur, yang kemudian diproduksi menjadi kimia soda.
Lalu, secara berkala Tjiwi Kimia melebarkan bisnisnya dan mulai memproduksi kertas dengan kapasitas ribuan ton per tahun. Seiring berjalannya waktu, perusahaan akhirnya resmi mengarahkan bisnisnya ke produksi kertas, kemudian lahirlah PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia sebagai permulaan.
Produk Tjiwi Kimia terus berevolusi lewat variasi, mulai dari kertas, kertas karbon, alat tulis kantor (ATK), buku latihan, tas belanja, amplop, folder file, buku gambar, dan lain-lain.
Dilansir dari laman resmi perusahaan ini, pada 2006, kapasitas produksi kertas dan karton Tjiwi Kimia meningkat lebih dari 1,2 juta metrik ton per tahun. Sementara kapasitas konversi alat tulis meningkat menjadi sekitar 320.000 metrik ton per tahun.
Rangkaian produk Tjiwi Kimia mencakup produk bernilai tambah seperti kertas khusus, kertas fotokopi, kertas woodfree tanpa lapisan, kertas coklat industri, kertas tanpa karbon, dan berbagai alat tulis sekolah dan kantor. Perusahaan juga memproduksi pembalut, spiral, buku bersampul tebal, buku gambar, amplop, kertas kontinu, folder file, dan rangkaian produk alat tulis yang lain.
Tjiwi Kimia juga menjadi salah satu pabrik kertas dari Asia Pulp and Paper (APP Sinar Mas) di Indonesia yang aktif mempromosikan daur ulang kertas bekas. Serat daur ulang akan digunakan untuk membuat berbagai produk kertas halus dan alat tulis Tjiwi Kimia.
Tjiwi Kimia Jadi Perusahaan Publik di Bursa
Tjiwi Kimia resmi menawarkan sahamnya ke publik lewat initial product offering pada 1990 dengan kode emiten TKIM. Sebanyak 9,3 juta saham ditebar ke lantai bursa dengan harga Rp 9.500 per saham, dilansir dari RTI. Lebih dari tiga dasawarsa lalu, saham TKIM dicatat pada Bursa Efek Surabaya dan Bursa Efek Jakarta, tepatnya pada 3 April 1990.
Dari penelusuran Katadata.co.id, pabrik kertas TKIM berhasil menduduki daftar indeks LQ45 pada Agustus 2003-Januari 2004. Namun, pada periode Februari-Juli 2007, TKIM didepak keluar dari LQ45 bersama lima emiten lainnya.
View this post on InstagramSebuah kiriman dibagikan oleh Asia Pulp & Paper Indonesia (@asiapulppaperid)
TKIM kembali memasuki indeks LQ45 pada periode Februari-Juli 2019, bersamaan dengan perdagangan BEI yang cukup fluktuatif sejak pekan pertamanya Mei. Sebanyak 30 saham dari 45 saham anggota LQ45 juga membukukan kinerja negatif selama periode tersebut.
Kapitalisasi pasar TKIM mencapai Rp 24,13 triliun per Jumat (1/10). Saham TKIM pada perdagangan di BEI pada Jumat (1/10/2021) dibuka koreksi ke level Rp 7.925 per saham, dari penutupan hari sebelumnya Rp 7.950 per saham. Adapun sepanjang 2021, saham TKIM terkoreksi sebanyak 21,07%, dilansir dari RTI.
Meskipun pergerakan harga saham masih merah, TKIM mampu membagikan dividen tahun ini, untuk kinerja perusahaan di 2020 lalu. Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) yang digelar 26 Agustus 2021 sepakat membagi dividen tunai sebesar US$ 5,37 juta atau setara Rp 77,83 miliar. Investor yang memiliki saham TKIM akan memperoleh dividen Rp 25 per lembar saham.
Tjiwi Kimia dan Eka Tjipta Widjaja
Eka Tjipta Widjaja bisa disebut sebagai jantung perusahaan pabrik kertas ini. Pria kelahiran Tiongkok, 3 Oktober 1923 tersebut memiliki nama asli Oei Ek Tjhong, dilansir dari Antara. Terlahir dari keluarga sangat miskin, membuat Eka yang berusia 9 tahun dan ibunya memutuskan merantau ke Indonesia untuk mencari sang ayah. Sesampainya di Makassar, Eka membantu bekerja di toko kecil rintisan ayahnya.
Hidup serba kekurangan, membuat Eka Tjipta kecil terpaksa meninggalkan pendidikan pasca lulus sekolah dasar di Makassar. Dia juga harus mencicipi bermacam-macam profesi atau pekerjaan, mulai dari pedagang permen, biskuit, kembang gula keliling, hingga jadi kontraktor kuburan seharga Rp 3.500 per liang lahat.
Eka juga sempat menjual kopra alias daging buah kelapa yang dikeringkan. Eka pun bekerjasama dengan Corp Intendans Angkatan Darat (CIAD) dan memperoleh laba besar. Namun, perlahan usahanya mulai bangkrut ketika Jepang mengeluarkan kebijakan monopoli kopra.
Eka memutuskan untuk pindah ke Surabaya di usia ke 37 tahun dan mulai berbisnis kebun kopi serta kebun karet. Kerja kerasnya pun terbayar di 1960, ketika dia berhasil mendirikan usaha perdagangan kecil dengan nama CV Sinar Mas.
Dari sana, Eka memulai bisnis produksi bubur kertas dari bahan sisa pengolahan karet. Kini, perusahaan tersebut bertransformasi menjadi Sinarmas Group dengan beberapa unit bisnis bidang kertas dan pulp, agribisnis dan pangan, layanan keuangan, real estate, telekomunikasi, hingga sektor energi serta infrastruktur.
Tak hanya sampai situ, Eka juga mengakuisisi Bank Internasional Indonesia (BII) pada 1982. Di bawah kepemimpinan Eka, aset BII yang semula hanya mencapai Rp 13 miliar terus meningkat menjadi Rp 9,2 triliun. Bank ini kemudian banyak mendanai usahanya yang lain.
Eka juga berkali-kali masuk jajaran orang terkaya di Indonesia. Bahkan, pada Bloomberg Billionaires Index memasukkan taipan Sinarmas Group ini dalam deretan orang yang kekayaannya melonjak paling tinggi pada 2018, beberapa peringkat di bawah boss Amazon, Jeff Bezos yang memiliki kekayaan US$ 149 miliar saat itu.
Eka menghembuskan nafas terakhirnya pada Januari 2019 dalam usia 98 tahun. Dilansir dari Kompas.com, Eka pergi dengan meninggalkan 15 anak dari dua pernikahannya dengan almarhum istri pertama Trinidewi Lasuki dan istri keduanya Melfie Pirieh Widjaja.
Penyumbang bahan: Nada Naurah (Magang)