Perjalanan 65 Tahun BCA di Bawah Tangan-tangan Konglomerat
Lebih dari enam dekade berkecimpung di industri keuangan Indonesia, Bank Central Asia pun menjadi bank dengan kapitalisasi pasar terbesar saat ini. Berdasarkan catatan Bursa Efek Indonesia atau BEI, saham BBCA masih menempati posisi jawara dengan kapitalisasi pasar Rp 976 triliun sepanjang 2022.
Fokus bisnis BCA meliputi transaksi serta menyediakan fasilitas kredit dan solusi keuangan bagi segmen korporasi, komersial, UKM, dan konsumer. Pada akhir Desember 2021, BCA tercatat melayani 29 juta rekening nasabah dan memproses sekitar 48 juta transaksi setiap hari, didukung oleh 1.242 kantor cabang, 18.034 ATM, serta layanan internet dan mobile banking, contact center Halo BCA yang dapat diakses 24 jam.
Tak hanya itu, kinerja BCA juga didukung sejumlah entitas anak usaha yang fokus pada pembiayaan kendaraan, perbankan Syariah, sekuritas, asuransi umum dan jiwa, perbankan digital, pengiriman uang, dan pemodal ventura.
Dengan lebih dari 25.000 karyawan, visi BCA adalah untuk menjadi bank pilihan utama andalan masyarakat yang berperan sebagai pilar penting perekonomian Indonesia. Untuk mencapai posisi saat ini, BCA telah melalui berbagai situasi dan kondisi selama 65 tahun terakhir.
Berbagai capaian yang diperoleh BCA juga tak lepas dari pengaruh tangan-tangan konglomerat yang membentuknya. Berdasarkan laporan Kantar, BCA masuk dalam daftar 15 bank dengan nilai merek (brand value) terbesar di dunia.
Perusahaan yang didirikan Sudono Salim ini memiliki nilai merek US$ 18,6 miliar atau Rp 267,4 triliun dengan (kurs Rp 14.400) pada 2021. BCA dianggap sebagai tempat yang aman bagi konsumen menyimpan uang di situasi yang serba tak pasti akibat pandemi virus corona Covid-19. Di samping itu, BCA dinilai memiliki dukungan lingkungan serta koneksi yang kuat dengan pemerintah.
Dibangun dari nol oleh Sudono Salim yang merupakan pelopor Grup Salim, kinerja BCA kini masih tetap eksis di bawah kelolaan Jahja Setiaatmadja.
Sudono Salim Pionir Salim Group di BCA
Bank dengan kapitalisasi pasar terbesar di Bursa Efek Indonesia ini didirikan pada 21 Februari 1957, lewat tangan konglomerat Liem Sioe Liong alias Sudono Salim. Pria kelahiran Cina tersebut mulai merantau ke Indonesia saat usia 20 tahun dan sempat bekerja sebagai karyawan pabrik kerupuk, pebisnis cengkeh, hingga menjadi bandar cengkeh kudus pada usia 25 tahun.
Pada 1957, Sudono mulai membangun bisnis jasa pemberian kredit Bernama Central Bank Asia, bersama rekannya Mochtar Riady. Selang tiga tahun, pada 1960 nama perusahaan resmi berubah menjadi Bank Central Asia atau yang sekarang dikenal sebagai BCA.
Tak hanya besar dari bisnis perbankan, Grup Salim juga dikenal dengan bisnis makanan dan minuman lewat merek Indofood, ada juga bisnis penjualan mobil, semen, hingga swalayan. Kini, semua bisnis yang masuk dalam Grup Salim tersebut diwarisi Anthony Salim, anak ketiga Liem.
Mochtar Riady Pionir Grup Lippo di BCA
Rekan Sudono Salim, yakni Li Wen Cheng atau yang akrab disapa Mochtar Riady mulai masuk ke BCA pada 1975, usai mundur dari Bank Panin. Mochtar bergabung dengan BCA saat kondisi perbankan tersebut tidak terlalu baik.
Saat itu, bisnis perbankan Liem lebih dari satu, di antaranya Bank Windu Kencana dan Bank Asia alias BCA, ada pula Bank Dewa Ruci. Windu Kencana dikelola adik Soedono, yakni Liem Sioe Kong. Sementara itu, Dewa Ruci dipegang sepupunya, yaitu Liem Ban Tiong.
Sejak bergabung dengan BCA, Mochtar mulai memperbaiki sistem kerja di bank tersebut, salah satunya dengan merapikan arsip-arsip bank. “Arsip merupakan dasar paling pokok dalam mengelola perbankan,” kata Mochtar Riady dalam autobiografinya Manusia Ide (2015).
Dia juga menekankan, pengelolaan arsip yang tertata rapi mampu memudahkan perbankan untuk mencapai efektifitas dan produktifitas kerja secara maksimal. Di bawah kelolaan Mochtar pula, anak-anak Soeharto sempat bergabung menjadi pemegang saham BCA.
Dalam buku Korupsi Kepresidenan: reproduksi oligarki berkaki tiga: istana, tangsi dan partai penguasa karya George Junus Aditjondro, disebutkan kalau anak Soeharto Siti Hardiyanti (Tutut) dan Sigit Jarjojudanto memiliki saham BCA. Keduanya, menurut Aditjondro sempat menguasai 32 % saham BCA.
Satu dekade lebih mengembangkan bisnis perbankan swasta tersebut, Mochtar memutuskan untuk menjual saham BCA miliknya pada 1990. Pada buku Prominent Indonesian Chinese: Biographical Sketches (4th Edition), karya Leo Suryadinata disebutkan kalau Mochtar menukar saham BCA miliknya dengan saham Grup Lippo kepada Liem Sioe Liong alias Sudono.
Alhasil, sejak 1990 Sudono menjadi pemegang saham terbesar BCA dan Mochtar Riady mundur dari bank tersebut pada 1991, demi membangun Bank Lippo. Mochtar pun lebih dikenal sebagai pendiri sekaligus ketua Grup Lippo.
Jahja Setiaatmadja di BCA
Sosok Jahja Setiaatmadja sebagai nakhoda BCA saat ini, sangat erat di kalangan masyarakat dan pelaku pasar. Pria kelahiran Jakarta 66 tahun itu sudah menjabat sebagai Presiden Direktur lebih dari sepuluh tahun.
Pada Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan Maret lalu, Jahja kembali dipercaya sebagai Dirut BBCA hingga 2026. Jahja atau Tio Sie Kian, merupakan anak tunggal dari pasangan Tio Keng Soen dan Tan Giok Kiem. Nama Jahja Setiaatmadja diperolehnya ketika berusia sebelas tahun.
Jahja memperoleh gelar sarjana bidang Akuntansi di Universitas Indonesia (UI) pada 1982. Cita-citanya adalah masuk ke jurusan kedokteran, namun harus tersandung biaya yang tinggi.
Sebelum menjabat sebagai Dirut BCA, Jahja memulai karirrnya di 1979 sebagai Akuntan di Price Waterhouse. Bukunya, Sang Dirigen: Perjalanan Jahja Setiaatmadja hingga Menjadi CEO BCA bercerita biografinya. Di sana, dia mengaku penghasilan sebagai akuntan saat itu sangat kecil, sehingga mencari penghasilan tambahan dengan bekerja di rental kaset video milik temannya.
Jalan karier Jahja mulai terbuka saat bekerja di rental kaset dan bertemu Direktur PT Kalbe Farma, Rudy Capelle. Singkat cerita, Jahja akhirnya pindah ke Kalbe Farma pada 1980 sebagai akuntan, dengan catatan karier yang menanjak menjadi Senior Manager, kemudian pada usia 33 tahun diangkat sebagai Direktur Keuangan perusahaan farmasi tersebut.
Selanjutnya, pada 1989 Jahja menerima tawaran sebagai Direktur Keuangan perusahaan otomotif PT Indomobil, yang merupakan anak usaha dari Grup Salim. Tak bertahan lama, pada 1990 Jahja yang saat itu menjabat sebagai Direktur Indomobil, kemudian bergeser ke Bank BCA dan harus turun pangkat sebagai Wakil Kepala Divisi.
Krisis ekonomi yang terjadi pada 1998 membuat mayoritas saham dari Grup Salim dipegang oleh pemerintah. Sampai pada 1999, pemerintah kemudian menunjuk tim direksi BCA dan mempromosikan Jahja sebagai Direktur BCA hingga tahun 2005.
Pada 2002, pemerintah menjual saham BCA ke Grup Djarum dan Farallon Capital. Selanjutnya, pada 2005 Jahja dipromosikan sebagai Wakil Presiden Direktur BCA hingga 2011. Karier terus meningkat, sampai akhirnya pada 2011 Jahja dipilih menjadi Presiden Direktur BCA menggantikan Djohan Emir Setioso yang memilih untuk menjadi Komisaris Utama BCA.