Low Tuck Kwong, Perantau Singapura Jadi Juragan Batu Bara Indonesia
Imbas perang Ukraina dan Rusia membuat harga batu bara dunia sempat melambung di atas US$ 400 per ton. Kondisi tersebut tentunya akan mendorong cuan bagi segelintir pemain batu bara di Tanah Air, salah satunya Low Tuck Kwong.
Adapun neraca perdagangan Indonesia pada Februari 2022 berhasil membukukan surplus US$ 3,83 miliar, naik dibandingkan bulan sebelumnya. Di mana salah satu penopang kenaikan berasal dari pertumbuhan ekspor.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik alias BPS, nilai ekspor Indonesia menurut sektor pada Februari 2022 naik 6,73 % menjadi US$ 20,46 miliar. Kenaikan terbesar dibukukan produk pertambangan dan lainnya yang tumbuh 65,8 %, karena meningkatnya ekspor batu bara.
Sementara itu, konflik Rusia Ukraina yang masih berlangsung, turut menimbulkan kekhawatiran global akan pasokan energi, sebab Rusia merupakan salah satu produsen batu bara dunia. Kabar teranyar, negara anggota Uni Eropa sepakat untuk menghentikan impor batu bara dari Rusia, mulai pertengahan Agustus 2022. Namun, juru bicara pemerintah Rusia, Dmitry Peskov permintaan batu bara saat ini masih cukup tinggi.
Salah satu pemain batu bara yang sudah lama malang melintang di Indonesia adalah Bayan Resources. Low Tuck Kwong sebagai pemilik perusahaan ini terkena durian runtuh sejak berhasil menjalankan tambang batu bara di Kalimantan Timur dan Selatan sejak 1988.
Hingga 2021, Forbes mencatat nama pengusaha batu bara ini sebagai orang terkaya nomor 18 di Indonesia. Melansir laman Forbes, Low Tuck Kwong memiliki kekayaan sebanyak US$ 3,6 miliar atau setara Rp 50,4 triliun (kurs Rp 14.000) per 17 Maret 2022.
Merantau dari Singapura
Sebelum dikenal sebagai pengusaha batu bara, di umur 20 tahun Low Tuck Kwong terlebih dahulu menimba ilmu bisnis di perusahaan konstruksi milik ayahnya, David Low Yi Ngo. Kwong sendiri adalah warga negara Singapura yang lahir pada 17 April 1948.
Setelah empat tahun merasa cukup dengan ilmu yang diperoleh dari perusahaan ayahnya, tepat pada 1972 Low Tuck mencoba peruntungan di bidang bisnis yang sama namun di negara tetangganya, yaitu Indonesia. Kala itu angin investasi asing sedang berhembus kencang di Indonesia, ketika presiden pertama Indonesia, Soekarno lengser.
Melansir informasi dari laman resmi Bayan Group, perusahaan pertama milik Low Tuck Kwong ini bernama PT Jaya Sumpiles Indonesia (JSI). Perusahaan itu berdiri pada 1973 dan bergerak di bidang kontraktor pekerjaan tanah, pekerjaan umum, dan struktur kelautan. Meski sudah memiliki bekal pengalaman di bisnis konstruksi tidak serta-merta mempermulus kesuksesan JSI. Untuk itu, Low Tuck mulai mencoba memperluas bisnisnya dengan mendapatkan kontrak batu bara pada 1988.
Setelah tinggal di Indonesia selama 20 tahun, Low Tuck Kwong akhirnya mengubah kewarganegaraannya dan resmi menjadi Warga Negara Indonesia alias WNI pada 1992. Lima tahun berikutnya, pada November 1997, keputusan perluasan bisnis yang diambil Low Tuck Kwong berbuah manis.
Dia berhasil membeli tambang batu bara pertamanya, PT Gunungbayan Pratamacoal (GBP), yang menjadi cikal bakal Bayan Resources. Setahun berselang, Low Tuck Kwong mengoperasikan terminal batu bara di Balikpapan, Kalimantan Timur melalui PT Dermaga Perkasapratama.
Kini, Bayan Resources sudah memiliki lima kontrak batu bara (Coal Contract of Work/CCOW) dan 16 Izin Usaha Pertambangan (IUP) seluas 126 ribu hektar di Kalimantan Timur dan Selatan. Dalam laman resmi perusahaan disebutkan bahwa konsesi tersebut dibagi menjadi empat proyek pertambangan aktif.
Hingga kuartal ketiga 2021, Bayan Resources sudah memproduksi 27,3 juta metrik ton. Batu bara tersebut, kemudian dijual ke beberapa negara di Asia, namun pembeli terbesar adalah Filipina yang membeli 28 % dari keseluruhan batu bara Bayan. Di posisi kedua, China membeli 17 % batu bara Bayan, Korea sebesar 14 %, di pasar domestik 11 %, India dan Malaysia 10 %, serta sisanya 10 % ke negara lain.
Dalam catatan Katadata, Bayan Resources bisa menjadi pemain besar di industri batu bara sebab adanya keunikan positif dari batu bara Bayan yang bernama Tabang. Dalam paparan publik perusahaan 2021, Wood Mackenzie menyebutkan nilai emisi CO2 yang terdapat di batu bara Tabang adalah yang terendah dari seluruh batu bara termal. Selain itu, sebagai batu bara thermal seaborne yang diambil dari laut, biaya produksi yang harus dikeluarkan untuk mengeruk batu bara Tabang adalah yang terendah di pasarnya.
Berbekal dua keunikan ini, Bayan Resources masih optimis melanjutkan usaha meski isu peralihan energi terbaru digaungkan. “Kami berharap batu bara Tabang akan menjadi salah satu last man standing di sektor batu bara termal yang dianggap sebagai sunset industry,” kata manajemen Bayan Resources dalam paparan publik.
Sebagai pendiri dari Bayan Resources, Low Tuck Kwong juga menduduki jabatan sebagai direktur utama perusahaan ini sejak 10 Januari 2018 lalu. Sebelumnya, ia menjabat sebagai komisaris utama perusahaan dari 2008 hingga 2018 dan anggota komite tata kelola perusahaan pada 2009 hingga 2013 silam.
Sementara itu, anaknya, Low Yi Ngo juga menjabat sebagai direktur sales & marketing Bayan Resources dari 2006. Diketahui dari laman resmi Bayan Resources, taipan berusia 73 tahun ini memegang gelar Doktor Honoris Causa (HC) dari Universitas Notre Dame of Dadiangas, Filipina pada 2012 dan memperoleh gelar diploma di bidang Teknik Sipil dari Japan Institute.
Bisnis Lain Low Tuck Kwong
Tidak hanya mendulang cuan dari usaha batu bara, Forbes mencatat setidaknya ada tiga perusahan lain yang dikelola oleh taipan asal Singapura ini. Pertama, Low Tuck Kwong mengendalikan perusahaan pelayaran di Singapura bernama Manhattan Resources. Perusahaan itu tercatat sebagai perusahaan publik di Bursa Saham Singapura (Singapore Exchange/SGX).
Kedua, nama Low Tuck tercatat juga di balik bisnis SEAX Global, perusahaan yang membangun sistem kabel internet bawah laut. Sistem tersebut dapat menghubungkan konektivitas antara Singapura, Indonesia, dan Malaysia.
Ketiga, Low Tuck Kwong juga memiliki saham di The Farrer Park Company, Samindo Resources, dan Voksel Electric. The Farrer Park Company adalah perusahaan swasta yang bergerak di bidang kesehatan dan perhotelan di Singapura.
Selain itu, ada Voksel Electric yang merupakan emiten fiber optik dengan kode saham VOKS. Nama emiten VOKS sudah tercatat di Bursa Efek Indonesia atau BEI sejak 20 Desember 1990, di mana nilai kapitalisasi pasarnya saat ini berada di kisaran Rp 700 miliar. Sebanyak 7,9 % saham VOKS dikuasai oleh Low Tuck Kwong.
Tak hanya itu, Low Tuck juga mengantongi kepemilikan saham 14,18 % di Samindo Resources, perusahaan yang bergerak di pertambangan batu bara. Perusahaan dengan kode emiten MYOH ini sudah melantai dari 27 Juli 2000 dan kini memiliki nilai kapitalisasi pasar Rp 4 triliun.
Dua hari lalu, taipan ini turut membeli saham perusahaan miliknya sebanyak 198,7 juta saham dengan harga pelaksanaan Rp 6.488 per saham, jauh dari harga pasar BYAN yang ada di harga Rp 41.275 per saham. Dengan transaksi bertanggal 15 Maret 2022 ini, kepemilikan Low Tuck Kwong di Bayan Resources bertambah dari 1,84 miliar saham atau setara 55,2 % menjadi 2,03 miliar saham atau setara 61,18 %.
“Tanggal transaksi pada 15 Maret 2022, adapun tujuan dari transaksi ini adalah untuk investasi,” jelas Low Tuck Kwong pada laman keterbukaan informasi.