Mengenang S.K. Trimurti, Menteri Tenaga Kerja Pertama Indonesia

Image title
11 Mei 2023, 21:23
Ilustrasi, S.K. Trimurti diapit oleh Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Amir Syarifuddin usai pelantikan sebagai Menteri Perburuhan, 1947.
Dok. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia
Ilustrasi, S.K. Trimurti diapit oleh Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Amir Syarifuddin usai pelantikan sebagai Menteri Perburuhan, 1947.

Tanggal 11 Mei memang tidak masuk dalam perayaan nasional. Namun, sejatinya 11 Mei merupakan salah satu tanggal yang istimewa bagi Indonesia, karena menjadi waktu lahirnya salah satu tokoh pergerakan kemerdekaan.

11 Mei merupakan hari lahir Soerastri Karma Trimurti, yang kerap dituliskan S.K. Trimurti. Ia merupakan seorang jurnalis, penulis, dan guru, serta Menteri Tenaga Kerja pertama Indonesia, di mana pada awal kemerdekaan jabatan ini bernama Menteri Perburuhan. Ia juga merupakan salah satu perempuan yang mengiringi perjuangan kemerdekaan.

Siapa sebenarnya Soerastri Karma Trimurti, serta seperti apa kiprahnya dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia? Simak ulasan singkat berikut ini.

Pendidikan dan Awal Perkenalan S.K. Trimurti dalam Pergerakan Politik

Soerastri Karma Trimurti lahir di Desa Sawahan, Boyolali, Jawa Tengah. Ia merupakan putri dari pasangan Salim Banjaransari Mangunkusumo dan R.A. Saparinten. Ayahnya merupakan seorang abdi dalem keraton Surakarta dan Asisten Wedana.

Soerastri mengenyam pendidikan awal di Sekolah Guru Putri, serta melanjutkan studi di Normaal School dan Algemeene Middelbare School (AMS), yang berada di Surakarta.

Usai menamatkan pendidikan, ia sempat bekerja sebagai guru di sekolah anak perempuan atau Meisjesschool. Namun, dalam perjalannya Trimurti memilih untuk terjun dalam pergerakan politik, dengan bergabung dalam Partai Indonesia (Partindo).

Keputusannya untuk bergabung dalam Partindo bermula dari kehadirannya mengikuti Rapat Umum Partindo pada 1933. Saat itu, Soerastri terpukau dengan pidato yang dilontarkan pendiri Partindo, yakni Ir. Soekarno.

Tak perlu menunggu lama, kiprah Soerastri mendapat perhatian dari Soekarno, yang kemudian membujuknya untuk menulis di koran Fikiran Rakjat. Tulisannya berisi mengenai gagasan tentang semangat kemerdekaan.

Meski demikian, kiprahnya di Partindo ini tidak berlangsung lama, karena pada 1934 Soekarno ditangkap Pemerintah Kolonial Belanda. Ketiadaan Soekarno membuat Fikiran Rakjat bak kehilangan induk, dan akhirnya mati.

Ini membuat Soerastri kemudian memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya, Surakarta. Namun, kepulangannya tak serta merta menyurutkan semangatnya dalam aktivitas jurnalistik dan politik.

Kian Aktif dalam Dunia Jurnalistik dan Pergerakan Kemerdekaan

Seperti telah disebutkan sebelumnya, kiprah Soerastri dalam Partindo, terutama sebagai penulis di Fikiran Rakjat hanya berlangsung setahun, karena Soekarno kemudian ditangkap oleh Belanda dan dibuang ke Ende.

Pada 1935, atau setahun setelah kepulangannya, ia memutuskan untuk mendirikan surat kabar sendiri, bernama Bedoeg. Nama ini terinspirasi dari bedug, yang berfungsi mengingatkan para kaum muslim untuk beribadah. Ia ingin surat kabar yang ia dirikan dapat seperti bedug, berseru-seru kepada seluruh rakyat agar berjuang melepaskan diri dari penjajahan.

Soerastri kemudian bergabung dengan Persatuan Marhaeni Indonesia (PMI) di Jogjakarta, di mana dirinya kemudian menjadi pemimpin redaksi majalah Soeara Marhaeni. Pada tahun ini, ia mulai menggunakan nama pena S.K. Trimurti. Sebelumnya, tulisan-tulisan yang ia terbitkan menggunakan namanya, "Soerastri".

Melalui tulisan-tulisannya yang "menyerang" pemerintah kolonial, S.K. Trimurti berulang kali ditangkap dan masuk penjara. Awal perkenalannya dengan penjara kolonial, adalah saat ia ditangkap kala membagikan pamflet berisi kritik terhadap pemerintah kolonial. Atas perbuatannya itu, ia dijatuhi hukuman 9 bulan penjara.

Keluar dari penjara, ia justru semakin giat dalam dunia jurnalistik. Ini ditunjukkan dari keterlibatannya dalam beberapa surat kabar, seperti Suluh Kita dan Sinar Selatan. Ia juga mendirikan majalah bernama Pesat pada 1938, bersama dengan Mohamad Ibnu Sayuti atau Sayuti Melik, yang kemudian menjadi suaminya.

Sepak terjang pasangan jurnalis-pejuang ini kerap mendapat perhatian dari kepolisian kolonial atau Politieke Inlichtingen Dienst (PID). Pada 1939, ia bahkan ditangkap lantaran menulis artikel yang mengampanyekan anti-imperialisme dalam majalah Pesat.

Kegiatan menulis S.K. Trimurti tetap diteruskan saat Jepang datang menjajah pada 1942. Saat pemerintah pendudukan Jepang berkuasa, majalah Pesat bahkan dibredel dan ia harus berurusan dengan hukum, karena aktivitas menulisnya dinilai menyudutkan Jepang. S.K. Trimurti sempat pula mendekam di penjara Blitar hingga 1943.

Keluar dari penjara, S.K. Trimurti kemudian bergabung dengan Pusat Tenaga Rakyat, yang kemudian dibubarkan Jepang dan menjadi Jawa Hokokai. Bergabungnya S.K. Trimurti dalam organisasi ini bermula dari ajakan Soekarno.

Ia tidak menganggap bergabung dengan Jawa Hokokai sebagai perwujudan sikap kooperatif dengan Jepang. Melainkan sebagai taktik dan strategi bagi perjuangan mencapai kemerdekaan.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...