Biografi B.J. Habibie: Profil, Karir, dan Perjalanan Hidup

Destiara Anggita Putri
17 April 2024, 13:15
Biografi B.J Habibie
ANTARA FOTO/Audy MA
Ilustrasi, Presiden B.J.Habibie mengacungkan telunjuknya sambil berguyon pada pidatonya tentang RAPBN, di hadapan para anggota MPR/DPR, di Jakarta, Senin (4/1/1999).
Button AI Summarize

Bacharuddin Jusuf Habibie, atau yang dikenal dengan B.J. Habibie, adalah seorang tokoh inspiratif Indonesia yang dikenal sebagai Bapak Teknologi Indonesia. Lahir di Parepare, Sulawesi Selatan, pada 25 Juni 1936, Habibie menunjukkan kecerdasan yang luar biasa sejak kecil. Ia menyelesaikan pendidikannya di Institut Teknologi Bandung (ITB) dan melanjutkan studi di Jerman, meraih gelar Doktor Teknik dengan predikat summa cum laude.

Karir Habibie di bidang teknologi terbilang cemerlang. Ia bekerja di berbagai perusahaan penerbangan ternama di Jerman dan berkontribusi dalam pengembangan pesawat terbang canggih. Kemampuannya diakui dunia dan mengantarkannya kembali ke Indonesia pada tahun 1973 atas permintaan Presiden Soeharto.

Habibie kemudian mendirikan beberapa perusahaan teknologi di Indonesia dan berperan penting dalam memajukan industri penerbangan nasional. Ia juga aktif dalam politik dan pernah menjabat sebagai Menteri Riset dan Teknologi, Wakil Presiden, dan Presiden Republik Indonesia ke-3.

Mengingat sosoknya yang inspiratif, sudah selayaknya Anda mengetahui seperti apa kisah hidupnya agar bisa memetik banyak hikmah. Berikut ini biografi B.J. Habibie selengkapnya.

Habibie Wafat
Ilustrasi, B.J. Habibie (ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari)

Biografi BJ Habibie

Berikut ini informasi tentang biografi B.J. Habibie mulai dari masa kecilnya hingga wafat.

1. Masa Kecil dan Pendidikan B.J. Habibie

Lahir pada 25 Juni 1936 di Parepare, Sulawesi Selatan, B.J. Habibie merupakan anak keempat dari delapan bersaudara. Ia lahir dari pasangan Alwi Abdul Jalil Habibie dan R.A. Tuti Marini Puspowardojo.

Ia menghabiskan masa kecil di tempat kelahirannya, di Parepare. Namun, menginjak usia 14 tahun ia pindah ke Bandung, Jawa Barat pada 1950 setelah ayahnya meninggal karena penyakit jantung.

Di Bandung, Habibie menempuh pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) di Gouvernments Middlebare School. Setelah tamat SMA pada 1954, ia melanjutkan menempuh pendidikan di jurusan Teknik Mesin Institut Teknologi Bandung (ITB).

Masa studi Habibie di ITB tergolong singkat, hanya enam bulan. Sebab, ia memutuskan untuk melanjutkan studi teknologi penerbangan di Universitas Teknologi Delft, Belanda.

Namun, karena sengketa Irian Barat antara Indonesia dan Belanda, Habibie pindah ke Universitas RWTH Aachen di Jerman Barat dengan jurusan konstruksi pesawat terbang. Ia menyelesaikan gelar tekniknya (Diplom-Ingenieur) pada 1960, dan tinggal di Aachen sebagai asisten peneliti sambil menyelesaikan gelar doktornya.

Selama masa studi doktor tersebut, Habibie bekerja untuk Waggenfabrik Talbot, sebuah perusahaan kereta api, di mana ia membantu merancang gerbong kereta. Pada 1965, ia menerima gelar Doktor Ingenieur (Dr. Ing.) di bidang teknik kedirgantaraan.

Dalam biografi B.J. Habibie, nama lengkap beserta gelar Habibie adalah Prof. DR (HC). Ing. Dr. Sc. Mult Bacharuddin Jusuf Habibie.

2. Kiprah B.J. Habibie di Industri Penerbangan Internasional

Usai menyelesaikan pendidikan doktor di bidang teknik kedirgantaraan, Habibie kemudian bergabung dengan Messerschmitt-Bolkow-Blohm (MBB), sebuah perusahaan penerbangan Jerman. Di perusahaan ini, ia mengembangkan Metode Habibie (aerodinamika), Teorema Habibie (konstruksi), dan Faktor Habibie (termodinamika).

Selama berkarir di MBB, Habibie mengembangkan suatu metode yang akhirnya mengubah wajah dunia penerbangan. Metode atau penemuan yang dimaksud, adalah teori perambatan retak atau crack propagation theory. Temuan inilah yang membuat ia dijuliki Mr. Crack.

Teori perambatan retak dicetuskan Habibie untuk menjawab akibat kecelakaan pesawat saat itu, yang utamanya disebabkan karena kegagalan konstruksi, kebanyakan karena kelelahan (fatigue) pada badan pesawat.

Hingga awal dekade 1960-an, kecelakaan pesawat sering terjadi karena kegagalan konstruksi, kebanyakan karena kelelahan pada badan pesawat. Ketika kelelahan logam terjadi, itu adalah awal dari sebuah retakan.

Titik kritis kelelahan umumnya terletak pada sambungan antara sayap, dan dudukan mesin, atau antara sayap dan badan pesawat. Titik-titik ini mengalami turbulensi konstan, terutama saat lepas landas dan mendarat. Titik retak akan terus bercabang dan menyebar hari demi hari di dalam struktur pesawat. Jika tidak terdeteksi, sayap bisa patah saat lepas landas.

Saat itu, masih sulit untuk menemukan kelelahan ini lebih awal, karena tidak ada pemindai laser atau sensor untuk mengatasi masalah krusial ini. Risiko kelelahan semakin signifikan, karena industri penerbangan beralih dari penggunaan baling-baling ke jet.

Melalui teori yang dicetuskan Habibie, titik retak dapat diprediksi lebih awal. Ini membuat pesawat lebih aman, karena mengurangi risiko kegagalan mendadak, sekaligus membuat perawatannya lebih murah dan mudah. Dengan titik retak tertentu, konstruksi pesawat juga menjadi lebih cepat karena uji fatigue dapat dilakukan dalam waktu yang lebih singkat.

Sebelumnya, para insinyur penerbangan biasa mengatasi kemungkinan retakan dengan menaikkan faktor keamanan. Ini berarti menggunakan bahan yang lebih berat untuk badan pesawat, menggunakan paduan aluminium dan baja.

Setelah titik retak dapat ditentukan, faktor keamanan dapat dikurangi dan pesawat dapat dibuat dengan menggunakan material yang lebih ringan. Inilah yang disebut "Faktor Habibie", yang dapat meringankan bobot kosong operasi, yakni bobot penumpang dan pesawat tanpa bobot bahan bakar, hingga 10% dari bobot sebelumnya. Bahkan, angka ini bisa turun hingga 25% setelah Habibie memperhitungkan penggunaan material komposit ke badan pesawat.

Penggunaan material komposit tidak membuat penurunan berat badan maksimal take off weight-nya, yakni berat total pesawat ditambah penumpang dan bahan bakar, ikut merosot. Dengan begitu, secara umum daya angkut dan pesawat bertambah jarak tempuh lebih jauh. Sehingga secara ekonomis, performa pesawat dapat ditingkatkan.

Faktor Habibie juga berperan dalam pengembangan teknologi penggabungan bagian per bagian badan pesawat. Sehingga sambungan badan pesawat yang berbentuk silinder dengan sayap samping yang berbentuk oval mampu menahan tekanan udara saat badan pesawat lepas landas.

Begitu juga sehubungan dengan pembuatan landing gear badan pesawat yang jauh lebih kokoh, sehingga mampu menahan beban saat pesawat mendarat.

Teori perambatan retak yang dicetuskan Habibie menjadi jawaban dari kebuntuan selama 40 tahun dalam sejarah penerbangan komersial. Teori tersebut diakui oleh lembaga penerbangan Eropa dan diadopsi pada pesawat komersial terbaru saat itu, seperti A300 yang diproduksi oleh Airbus.

Teori yang ia cetuskan ini, membawa karir Habibie semakin maju di MBB, dengan posisi terakhir sebagai Vice President, pada 1974.

Halaman:
Editor: Agung
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...