Merentang Sejarah Uang di Nusantara
Jauh sebelum mengenal uang, manusia melakukan barter atau pertukaran barang, atau jasa untuk kebutuhan berupa barang atau jasa yang diinginkan.
Praktik barter telah dimulai sejak puluhan ribu tahun lalu. Namun, praktik ini memiliki kendala, karena sulit meraih kesepakatan mengenai nilai pertukarannya. Oleh karena itu, timbul kebutuhan akan adanya suatu alat penukar.
Selama berabad-abad, berbagai benda dipakai sebagai alat pertukaran atau alat pembayaran. Misalnya, kulit kerang, batu permata, gading, telur, garam, beras, binatang ternak, atau benda-benda lainnya. Dalam perkembangan selanjutnya, masyarakat menggunakan benda seperti logam dan kertas sebagai uang.
Pada awalnya, uang berfungsi sebagai alat penukar atau pembayaran. Seiring perkembangan peradaban, uang juga berfungsi sebagai alat penyimpan nilai, satuan hitung, dan ukuran pembayaran yang tertunda.
Tampilan uang pun terus mengalami perubahan. Dari awalnya berbentuk barter, kemudian ke kulit kerang, koin, kertas, plastik, dan kini dalam bentuk elektronik.
Bukti Tertua Kehadiran Uang di Nusantara
Di Indonesia sendiri, atau lebih dikenal dengan sebutan Nusantara, uang sudah hadir sejak lama. Ini dibuktikan dari dua koleksi uang perak dari zaman Hindu-Budha, yang dimiliki oleh Museum Nasional.
Bentuknya cembung, dengan sisi depan bergambar pot bunga, dua tangkai bunga, dan garis-garis lekuk sekitarnya seperti ruang asap. Sementara, pada sisi belakang terdapat gambar bunga lotus mekar terletak di dalam garis berbentuk persegi empat.
Mengutip "Katalog Pameran Peringatan Ulang Tahun Ke-200 Museum Pusat", diperkirakan mata uang ini digunakan sebagai alat tukar sekitar tahun 569 Saka atau tahun 647 Masehi.
Selain uang perak, ditemukan juga mata uang emas. Paling awal berbentuk batangan, jumlahnya sedikit, dan ukurannya tidak menentu, baik bentuk maupun berat. Ini mengindikasikan, uang emas tersebut tidak digunakan secara umum sebagai alat tukar.
Sebagian besar mata uang emas yang ditemukan di Jawa Tengah tersebut, berasal dari abad ke-9 dan ke-10. Mata uang ini termasuk dalam klasifikasi uang tipe piloncito, yakni ukurannya kecil, gepeng seperti dadu dengan sudut-sudut membulat.
Kehadiran Uang Kepeng
Mengutip Media Keuangan Edisi Oktober 2020, sejarawan Anthony Reid dalam "Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid 2" mengungkapkan, prasasti di Jawa tak lagi menyebut mata uang perak dan emas setelah tahun 1300.
Melainkan, muncul sebutan picis, yang merupakan mata uang berbahan dasar tembaga dari Tiongkok. Uang ini berbentuk kecil bulat, dan mempunyai lubang persegi di tengah agar dapat diikat sebanyak seribu.
Menurut sejarawan Denys Lombard dalam "Nusa Jawa Silang Budaya", kelebihan uang kepeng itu tidak langsung tampak. Mula-mula, banyak orang menggunakannya untuk ditukar dengan komoditas seperti rempah-rempah. Ini memungkinkan, karena bahan dasar tembaga yang digunakan pada uang tersebut, juga merupakan komoditas yang dicari.
Lomard mencatat, uang kepeng asal Tiongkok ini mulai tersebar bersamaan dengan majunya perniagaan Dinasti Sung, dan secara khusus membanjiri Jawa yang memiliki peran perantara dalam jaringan perdagangan di Nusantara.
Tingginya permintaan uang kepeng ini, memicu penyelundupan dari Tiongkok, serta memunculkan upaya menirunya dengan menggunakan logam campuran (perak, timah, timbal, dan tembaga). Di Pulau Jawa, uang tiruan ini disebut gobog, yang berbentuk lubang persegi di tengah-tengah dan garis tengah yang lebih besar.
Reid menyebutkan, tujuan pembuatan uang kepeng tiruan di Jawa, dan di beberapa tempat lain adalah, untuk menjaga persediaan karena hubungan langsung dengan Tiongkok menurun sekitar tahun 1500-an.
Meski demikian, uang tembaga dari Tiongkok ini, serta mata uang timah tiruannya telah menjadi dasar penggunaan mata uang di Asia Tenggara pada tahun 1500-an.
Uang Kerajaan dan Eropa
Selain menggunakan mata uang dari Tiongkok, kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara juga mengeluarkan mata uang sendiri. Misalnya, Kesultanan Samudera Pasai, memunculkan mata uang dirham dan mass, yang berbahan dasar emas.
Kemudian, Kesultanan Aceh juga mengeluarkan keuh atau kasha, yang berbahan dasar timah. Kasha juga digunakan oleh Kesultanan Banten. Selain itu, ada pula Kesultanan Cirebon, yang mengelurkan uang berbahan dasar timah, yakni picis.
Kedatangan bangsa Eropa membawa mata uang baru. Pada abad ke-16, Portugis mengedarkan mata uang yang terbuat dari perak, yaitu piastre Spanyol. Uang ini juga biasa disebut mat, pasmat, real, atau dollar.
Lalu, pada masa kekuasaan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), beredar bermacam-macam mata uang, seperti rijksdaalder, dukat, stuiver, gulden, dan doit. Kemungkinan besar, kata duit yang digunakan untuk menyebut uang dewasa ini, berasal dari mata uang yang beredar pada era kekuasaan VOC.
Beberapa uang yang dikeluarkan saat era kekuasaan VOC, menggunakan bahan emas, perak, tembaga, nikel dan timah. Bentuknya bundar pipih, dengan ukuran diameter yang tidak sama. Beberapa mata uang ini dibuat di Belanda.
Selain uang yang dibuat di Belanda, beredar juga uang dirham Jawi atau dukat Jawa, yang berbahan dasar emas dan perak. Uang ini dibuat di Batavia (sekarang disebut Jakarta), dengan ditandai tulisan Arab. Bentuk dan ukurannya sama dengan mata uang lain yang dibuat dari tembaga dan timah.
Uang tersebut, dibuat setelah tercapai kesepakatan antara Gubernur Jenderal VOC Gustaaf Baron van Imhoff dan Sultan Pakubuwana II dari Kerajaan Mataram Islam.
Di tahun-tahun terakhirnya, VOC sempat mengeluarkan uang darurat dari potongan-potongan batang tembaga berbentuk segi empat yang dicetak di Batavia. Uang ini disebut bonk.
Setelah VOC bubar, Hindia Belanda berada di bawah pemerintahan Republik Bataaf (1799-1806). Pada masa itu, mata uang yang dikeluarkan, bertuliskan Indie Batavorum, dengan satuan nilai gulden dan stuiver.
Ketika Hindia Belanda berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Prancis (Napoleonic Era), Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (1808-1811) mengedarkan mata uang berinisial LN, yang merupakan singkatan dari Raja Belanda saat itu, yakni Louis Napoleon. Ia merupakan adik Kaisar Perancis Napoleon Bonaparte. Uang ini berbentuk bundar pipih, dan terbuat dari tembaga.
Setelah Inggris mengambil alih Hindia Belanda melalui Kapitulasi Tuntang, mata uang yang dikeluarkan oleh Daendels dinyatakan tidak berlaku. Sebagai gantinya, pimpinan kekuasaan Ingris di Hindia Belanda, Gubernur Jenderal Sir Thomas Stamford Raffles (1811-1816), mengeluarkan mata uang rupee, yang bentuknya bundar pipih dan terbuat dari campuran emas, perak, tembaga, dan timah.
Kedua sisinya tertera tulisan Jawa dan Arab. Mata uang ini dicetak di Batavia. Diperkirakan kata "rupiah", berasal dari uang rupee yang dikeluarkan oleh Inggris ini, yang ditulis dalam bahasa Arab dengan ucapan roepiyah.
Penyeragaman Mata Uang
Setelah Inggris mengembalikan kekuasaan di Nusantara kepada Kerajaan Belanda pasca-pembuangan Napoleon ke Elba, uang rupee yang dikeluarkan Raffles dianggap tidak berlaku.
Pemerintah Hindia Belanda saat itu membentuk De Javasche Bank (DJB) pada 1828, untuk mengatur pembuatan dan peredaran uang. Bank inilah, yang bertugas mencetak uang kertas dan uang logam.
Pada 1854, diputuskan semua mata uang yang digunakan di Hindia Belanda diganti dengan mata uang yang beredar di Belanda, yakni gulden. Masa ini dianggap sebagai pertama kali seluruh wilayah di Nusantara menggunakan mata uang yang sama.
Kesatuan mata uang pupus pada masa pendudukan Jepang. Pada awalnya, Jepang tak mencetak uang sendiri, karena mata uang lama dari pemerintahan sebelumnya masih berlaku, yakni gulden, yang kerap pula disebut sebagai uang DJB. Hingga akhirnya, pemerintah pendudukan Jepang menerbitkan mata uang baru.
Pada masa pendudukan Jepang, mata uang yang berlaku adalah mata uang yang beredar di Indonesia ada dua, yakni uang bentukan pemerintahan pendudukan Jepang, yakni Dai Nippon Teikoku Seihu, atau kerap disebut rupiah Jepang dan uang peninggalan Hindia Belanda, yakni uang DJB.
Dua mata uang ini masih digunakan hingga awal-awal pasca-proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Setelah Indonesia merdeka, mata uang yang beredar makin banyak, dengan masuknya mata uang bentukan Netherlands Indies Civil Administration (NICA) atau uang NICA, yang datang membonceng sekutu untuk kembali menguasai koloninya yang sempat direbut Jepang.
Menyingkapi peredaran uang NICA yang kian meluas, pemerintah Indonesia pun tidak tinggal diam. Pada 15 Maret 1946, pemerintah mengeluarkan maklumat, yang menyatakan bahwa masyarakat yang kedapatan memegang uang NICA akan mendapatkan hukuman berat. Alhasil, memegang uang NICA saat itu menjadi momok bagi masyarakat.
Kemudian, saat Bank Negara Indonesia (BNI) berdiri pada 5 Juli 1946, pemerintah memutuskan untuk menarik peredaran beberapa uang, yakni uang DJB, uang rupiah Jepang dan Uang Merah. Saat itu, penduduk hanya diperbolehkan memegang maksimal 50 sen rupiah Jepang.
Penarikan peredaran uang ini diikuti oleh upaya pemerintah Indonesia mempersiapkan mata uang sendiri. Upaya ini menghasilkan Oeang Republik Indonesia (ORI).
ORI ini dikeluarkan oleh Menteri Keuangan A.A. Maramis melalui Surat Keputusan No.SS/1/25 tanggal 29 Oktober 1946. ORI secara resmi berlaku pada 30 Oktober 1946 sebagai mata uang yang sah di wilayah Republik Indonesia.
Meski demikian, peredaran ORI terhambat karena agresifnya aksi militer yang dilakukan Belanda. Untuk mengantisipasinya, pemerintah daerah diberikan izin untuk menerbitkan mata uang sendiri, yang dikenal dengan nama Oeang Republik Indonesia Daerah (ORIDA).
Penyeragaman mata uang baru terjadi setelah pengakuan kedaulatan melalui Konferensi Meja Bundar yang dilakukan pada 1949. Menyusul terbentuknya Republik Indonesia Serikat (RIS), terbit uang RIS atau juga disebut “uang federal”.
Pada 17 Agustus 1950, pemerintah Republik Indonesia menyatakan RIS bubar, dan membenruk kembali pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Penghapusan mata uang RIS menyusul kemudian.
Meski mata uang RIS dihapuskan, namun satuan rupiah yang tersemat pada uang ini tetap dipertahankan. Hingga kini, mata uang rupiah menjadi satu-satunya mata uang yang berlaku di wilayah Republik Indonesia.