Sejarah Hubungan PDIP dan Partai Demokrat dalam 2 Dekade Pilpres
Petinggi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Demokrat berencana bertemu di tengah penentuan bakal calon wakil presiden untuk pemilihan presiden alias Pilpres 2024. Dalam sejarahnya, kedua partai ini cenderung mengambil posisi yang berbeda.
Kedua sekretaris jenderal partai telah membahas persiapan untuk pertemuan tersebut pada Minggu (11/6). Petinggi PDIP Puan Maharani dan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) disebut akan hadir mewakili masing-masing partai
Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Teuku Riefky Hasya mengatakan pertemuan keduanya tidak akan memengaruhi posisi masing-masing terkait koalisi partai politik. “Kami sangat antusias membicarakan rencana pertemuan Mbak Puan dan Mas AHY,” katanya dikutip dari Antara.
Rencana pertemuan petinggi kedua partai muncul setelah pada 5 Juni 2023 Puan mengatakan AHY merupakan salah satu kandidat bakal cawapres yang dipertimbangkan PDIP.
Sebagai informasi, kedua partai sudah memilih calon presiden masing-masing. PDIP mengusung Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Sedangkan Partai Demokrat tergabung dalam koalisi yang mengusung mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Riwayat Posisi yang Berseberangan
Dalam rentang pemilihan presiden dalam dua dekade terakhir, PDIP dan Partai Demokrat cenderung berselisih atau setidaknya tidak berada dalam satu kubu. Posisi yang berseberangan ini terlihat pertama kali saat Pilpres 2004.
Meskipun merupakan pendatang baru, Partai Demokrat mengusung pasangan calonnya sendiri, yaitu ketua umum dan pendirinya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Untuk cawapres, partai ini memlih Jusuf Kalla. Keduanya merupakan menteri yang menjabat di kabinet Megawati antara 2001 dan 2004.
Pada saat yang sama, PDIP mengusung Ketua Umum Megawati Soekarnoputir sebagai calon petahana. Putri Presiden ke-1 Soekarno ini berpasangan dengan petinggi Nahdlatul Ulama (NU) Hasyim Muzadi.
Setelah SBY dan Jusuf Kalla memenangkan Pilpres 2004, PDIP mengambil posisi sebagai oposisi terhadap pemerintah. Partai Banteng mempertahankan posisi ini dalam 10 tahun era pemerintahan SBY.
Peta politik dalam Pilpres 2009 masih terbelah ke dua kutub besar yang berpusat di Partai Demokrat dan PDIP. Dengan koalisi yang gemuk, Partai Demokrat mengusung SBY sebagai calon petahana dan berhasil mempertahankannya sebagai Presiden untuk dua periode.
PDIP kembali mengusung Megawati sebagai calon presiden. Pada 2009, partai yang bermarkas di Jakarta Pusat itu menggandeng pendatang baru Partai Gerakan Indonesia Raya. Eks Letnan Jenderal Kopassus dan pendiri Partai Gerindra Prabowo Subianto mendampingi sebagai calon wakil presiden.
Di antara kedua kutub tersebut, Partai Golongan Karya (Golkar) dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) mengusung pasangan calon Jusuf Kalla dan mantan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Wiranto maju di Pilpres 2009.
Pada 2014, polarisasi menguat dengan pergeseran kutub ke PDIP dan Partai Gerindra. PDIP mengusung Gubernur DKI Jakarta saat itu Joko Widodo (Jokowi) sebagai calon presiden. Jusuf Kalla kembali berpartisipasi dalam Pilpres sebagai cawapres yang mendampingi mantan Walikota Surakarta itu.
Partai Demokrat lalu merapat ke koalisi yang dipimpin Partai Gerindra. Meskipun bukan pengusung, partai ini mendukung pasangan calon Prabowo dan Menteri Koordinator Perekonomian saat itu Hatta Rajasa.
Opisisi Sejak Pilpres 2014
Sejak PDIP menjadi partai yang berkuasa mulai dari 2014, Partai Demokrat cenderung mengambil posisi sebagai oposisi, termasuk di DPR.
Dalam Pilpres 2019, Partai Demokrat mempertahankan posisinya mengusung capres-cawapres Partai Gerindra, yaitu Prabowo dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno. PDIP lagi-lagi memenangkan pemilihan ini dengan Jokowi sebagai presiden dan Ma'ruf Amin sebagai wakil presiden.
Di DPR, Partai Demokrat kembali merapat ke grup penentang pemerintah bersama Partai Keadilan Sejahtera. Kedua partai ini membentuk oposisi yang relatif lemah karena hanya menguasai kira-kira 18% dari total kursi.
Peta politik lalu terguncang ketika pandemi Covid-19 menghantam Indonesia pada 2020. Menurut M. Prakoso Aji dari UPN Veteran Jakarta, krisis ini mendorong partai oposisi, kecuali PKS, untuk bergabung ke dalam pemerintah.
“Nuansa kedaruratan membuat konsensus politik untuk kepentingan penangangan Covid-19 lebih mudah. Hal ini karena dalam situasi pandemi, peran pemerintah dapat diperkuat serta munculnya rasa krisis yang dirasakan pemerintah maupun oposisi,” kata Prakoso dalam jurnal yang berjudul Konstelasi Politik di Tengah Pandemi: Potensi Bertambahnya Dukungan Partai Politik Bagi Pemerintah yang terbit pada 2020.