Sejarah Pembiayaan Rumah Murah, Berawal dari Gagasan Presiden Soeharto
Pembiayaan rumah murah masih menjadi salah satu fokus pemerintah Indonesia. Ini terbukti dari telah digelontorkannya dana sebesar Rp 123 triliun dari APBN 2023 untuk Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat atau BP Tapera.
Hal ini dikatakan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers APBN Kita Edisi Agustus 2023, Jumat (11/8). Berdasarkan data Kementerian Keuangan, FLPP masuk dalam kontribusi APBN untuk perumahan masyarakat berpenghasilan rendah. Total dana FLPP hingga Juli 2023 tercatat sebanyak Rp 85,78 triliun.
Jika ditilik ke belakang, pembiayaan rumah murah sejatinya bukan merupakan program baru. Melainkan, sudah berjalan selama beberapa dekade, dimulai dari pertengahan 1970-an. Seperti apa sejarah program ini? Simak ulasan singkat berikut ini.
Berawal dari Gagasan Presiden Soeharto
Mengutip historia.id, gagasan pembiayaan rumah murah dicetuskan oleh Presiden Soeharto pada saat memasuki masa Rencana Pembangunan Lima Tahun (Pelita) II periode 1974-1979. Saat itu, Soeharto menaruh perhatian pada sektor perumahan, karena pada Repelita sebelumnya lebih difokuskan untuk kebutuhan dasar seperti pangan.
Gagasan mengenai pentingnya keberadaan rumah murah, diutarakan Presiden ke-2 RI ini pada saat peresmian pabrik pengolahan kayu Suria Kencana di Cibadak, Sukabumi, pada 2 Agustus 1975. Saat itu, ia berujar bahwa pembangunan perumahan bukan sekadar perkara tempat tinggal. Tetapi, juga menjadi tempat pembentukan watak dan jiwa melalui keluarga.
"Kita harus membangun 1,5 juta rumah. Rumah-rumah tersebut tidak mewah, tetapi rumah sederhana yang menjadi tempat tinggal yang membahagiakan keluarga," ujar Soeharto, dalam 'Jejak Langkah Pak Harto: 27 Maret 1973–23 Maret 1978', dilansir dari historia.id.
Presiden Soeharto kemudian menunjuk Bank Tabungan Negara (BTN) sebagai bank yang memberikan pinjaman dana pembiayaan. Dengan begitu, masyarakat diharapkan dapat membeli rumah layak huni dengan cara mencicil dan bunga yang rendah.
Penunjukan BTN segera diikuti dengan pembentukan Perusahaan Umum Pembangunan Perumahan Nasional atau Perum Perumnas, yang bersama pengembang swasta, bertugas membangun perumahan rakyat.
Secara resmi, penunjukan BTN ditandai dengan penerbitan Surat Menteri Keuangan No. B-49/MK/I/1974 mengenai pembiayaan proyek perumahan untuk rakyat, pada 29 Januari 1974.
Dalam surat tersebut BTN ditunjuk sebagai bank yang menyalurkan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) bagi rumah sederhana yang dibangun oleh Perum Perumnas maupun pengembang swasta. Sejak itulah program KPR mulai diperkenalkan.
"Berdasarkan penelitian yang dilakukan Departemen Pekerjaan Umum, kesimpulan dicapai bahwa rumah yang akan dibangun adalah rumah sederhana,” ujar Cosmas yang pernah menjabat menteri muda urusan perumahan rakyat pada Kabinet Pembangunan III dan IV, dilansir dari historia.id.
Adapun, rumah yang menjadi konsep rumah sederhana yang digagas oleh Presiden Soeharto tersebut, berukuran minimum 36 meter persegi (m2) dengan luas kavling minimum 60 m2.
Dengan luas bangunan 36 m2, rumah ini memiliki dua kamar tidur berukuran 3x3 meter (m). Kemudian, sisa bangunan seluas 18 m dapat menjadi ruang tamu, ruang makan, kamar mandi, dan dapur. Rumah dengan spesifikasi ini dikenal dengan sebutan rumah tipe-36.
KPR untuk Rumah Murah Pertama Diluncurkan pada 1976
Dua tahun setelah penunjukan BTN sebagai bank yang berwenang menyalurkan pembiayaan rumah, serta pembentukan Perum Perumnas, KPR pertama di Indonesia diluncurkan pada 10 Desember 1976.
Saat itu, proyek yang dibiayai adalah pembangunan 9 unit rumah bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) Kantor Wilayah Agraria oleh pengembang swasta di Semarang, yang kemudian diikuti pembangunan 8 unit rumah di Surabaya. Total pembiayaan 17 unit rumah tersebut mencapai Rp 37 juta.
Keberhasilan peluncuran perdana tersebut, segera diikuti dengan perkembangan program KPR yang pesat di kota-kota lainnya. Tak hanya di ibu kota provinsi, program KPR meluas hingga ke kawasan transmigrasi.
Untuk masyarakat dengan anggaran terbatas, KPR menjadi pilihan, karena cicilannya tidak terlalu berat. Apalagi, rumah tersebut akhirnya akan menjadi hak milik, dengan nilai jual yang selalu naik. Seiring dengan meningkatnya minat masyarakat akan KPR, makin banyak pula para pengembang swasta yang terlibat dalam proses pembangunannya.
Terkait dengan esaran bunga kredit KPR saat itu, tergantung dari besar-kecilnya ukuran rumah. Untuk rumah inti atau petakan, bunganya ditetapkan sebesar 5% per tahun. Sementara, untuk rumah sederhana dikenakan bunga 7% per tahun. Lalu, untuk rumah yang lebih besar, dikenakan bunga 9% per tahun.
"Bagian terbesar dari anggota masyarakat yang menikmati fasilitas KPR ini, yaitu berupa pinjaman jangka panjang sampai dengan 20 tahun dengan bunga yang relatif murah, adalah pegawai negeri dan karyawan-karyawan perusahaan," tulis Menteri Muda urusan Perumahan Rakyat Kabinet Pembangunan V Siswono Yudo Husodo dalam 'Rumah untuk Seluruh Rakyat'.
Dari tahun ke tahun, kebutuhan masyarakat terhadap KPR terus meningkat. Pembangunan perumahan rakyat pun digenjot pemerintah. Peminat KPR tidak menurun, meski lokasi perumahannya jauh dari pusat kota ataupun perkantoran sekalipun. Di Jawa Barat misalnya, pembangunan perumahan rakyat banyak dibangun di Bogor, Cirebon, Purwakarta, Depok, Bekasi, Tangerang, dan Serang.
Menurut catatan Siswono, pemerintah menargetkan 150.000 unit rumah sederhana dengan dukungan fasilitas KPR BTN pada Pelita III (1979-1984). Kenyataannya, yang tercapai justru lebih besar dari target, yakni 170.000 unit.
Pada Pelita IV, yakni pada periode 1984-1989, dari target 300.000 unit rumah, tercapai 343.665 unit. Pada periode ini, pembangunan oleh pengembang swasta justru lebih dominan, yakni sebanyak 255.052 unit rumah, sedangkan Perumnas 88.613 unit.