Sejarah Panjang Divestasi Saham Vale hingga MIND ID Jadi Pengendali
Divestasi saham PT Vale Indonesia Tbk hampir memasuki babak akhir. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif mengatakan Vale akan melepas 14% sahamnya kepada negara melalui PT Mineral Industry Indonesia alias MIND ID.
Kesepatan tersebut akan menjadikan holding badan usaha milik negara atau BUMN pertambangan tersebut sebagai pemegang saham mayoritas. “Berarti dengan divestasi itu MIND ID bisa 34% dan mayoritas daripada (pemegang saham) yang lain,” kata Arifin, Jumat (10/11), di Jakarta.
Dengan pertambahan porsi MIND ID, saham Vale yang digenggam oleh Indonesia bertambah menjadi 54%. Angka ini terdiri dari 20,49% saham milik publik dan 34% saham milik MIND ID.
Terkait harga divestasi saham, Arifin menyebut masih dalam pembasan antara Vale dan MIND ID. “Itu lagi ngomong berdua, yang penting harganya harus special price buat kita,” ucapnya.
Pemerintah memberi tenggat waktu pembahasan harga divestasi saham ini selesai pada 2023. “Ya tahun ini-lah, udah kelamaan,” kata dia.
Perjalanan Divestasi Saham Vale
Divestasi saham diartikan sebagai kegiatan pengurangan saham yang dimiliki orang atau perusahaan untuk dialihkan kepada pihak lain. Vale Indonesia wajib melakukan divestasi saham kepada pemerintah sebagai syarat perpanjangan kontrak karya (KK) pertambangan.
Kontrak ini telah digenggam Vale Indonesia sejak 1968. Saat itu perusahaan masih bernama PT International Nickel Indonesia atau INCO. Saham INCO kemudian diakuisisi oleh Vale Canada pada 2011 sehingga berubah nama menjadi Vale Indonesia.
Hingga saat ini, Vale Indonesia tercatat telah melakukan tiga kali divestasi saham. Pertama, pada 1990. Menteri ESDM Arifin Tasrif menceritakan kronologi divestasi saham ini dalam rapat kerja (raker) dengan Komisi VII DPR RI di Gedung DPR RI, Selasa (13/6).
Arifin menceritakan, pada tahun tersebut PT Vale melepaskan 20% sahamnya melalui Bursa Efek Indonesia dan menjadi perusahaan terbuka. Pelepasan 20% saham ini berdasarkan Surat Dirjen Pertambangan Umum tertanggal 23 Agustus 1989.
Saat itu pemerintah memutuskan tidak membeli saham perusahaan. "Pemerintah meminta perusahaan untuk melakukan penawaran saham melalui Bursa Saham Jakarta atau badan pelaksana pasar modal," ucap Arifin.
Pada 2014, persoalan divestasi saham Vale kembali menghangat. Pemerintah mengatakan akan melakukan amandemen kontrak karya Vale Indonesia. Dalam amandemen tersebut Vale berkewajiban untuk melakukan divestasi lebih lanjut sebesar 20% sehingga total kepemilikan nasional mencapai 40%.
Lima tahun berselang, Vale Indonesia kemudian melakukan divestasi kedua. Pada 2019, Vale melepas 20% saham mereka kepada negara, melalui MIND ID.
“Pengalihan kepemilikan 20% saham Vale Canada Limited dan Sumitomo Metal Mining Co. Ltd kepada PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau sekarang menjadi MIND ID sehingga saham peserta nasional sudah mencapai 40%," kata Arifin.
Tak berhenti disitu, Vale Indonesia juga masih harus melepas kembali kepemilikan saham mereka kepada negara. Hal ini berkaitan dengan aturan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara atau Minerba.
Aturan tersebut menyebut bahwa Vale wajib melepas 51% saham kepada pihak lokal. Perusahaan paling tidak masih harus kembali melepas 11% sahamnya untuk memenuhi syarat tersebut.
Divestasi saham Vale yang ketiga ini menjadi syarat bagi Vale mendapat Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Konsesi pertambangan perusahaan akan berakhir pada 28 Desember 2025.
Divestasi Saham Vale Ketiga
Vale Indonesia pada Januari 2023 mengatakan proses divestasi saham ini sudah dapat dimulai. Kementerian ESDM memberi tenggat waktu pengajuan harga saham divestasi paling lama Desember 2024, setahun sebelum KK berakhir.
Sejak Maret 2023, pemerintah lalu memberi saran kepada Vale untuk mulai menawarkan sahamnya. Dua bulan berselang, Arifin menyebut Kementerian ESDM melalui Ditjen Mineral dan Batu Bara melakukan rapat bersama dengan Kementerian BUMN, Kementerian Investasi/BKPM, dan Kementerian Keuangan.
Berdasarkan data Minerba One Data Indonesia (MODI), pemegang saham Vale Indonesia terdiri dari Vale Canada Limited dengan 43,79%, Sumitomo Metal Mining 15,03%, MIND ID 20%, Vale Japan Limited 0,55%, Sumitomo Corporation 0,14%, dan publik 20,49%.
Mengenai porsi divestasi saham Vale yang ketiga, Arifin menyebut perusahaan bersedia membuka peluang divestasi lebih dari 11%. Namun, kendali operasional dan konsolidasi finansial masih di tangan Vale.
Pemerintah tak sepakat dengan opsi ini karena tidak menguntungkan untuk MIND ID, sebagai calon pengendali. Negosiasi akhirnya berakhir pada peluang pemerintah mendapat saham Vale hingga 14%, lebih tinggi dari kewajiban awal.
Pada Juli lalu, Menteri BUMN Erick Thohir menyebut pemerintah ingin menguasai lebih banyak saham Vale, melalui MIND ID. Bahkan, pemerintah berkeinginan menjadi pemegang saham pengendali Vale Indonesia.
“Berapapun (jumlah saham yang dilepas Vale), BUMN punya uang. Kami punya laba bersih Rp 250 triliun,” kata Erick pada wartawan selepas membuka BUMN Fest di Kementerian BUMN, Jakarta, pada 17 Juli lalu.
Dengan divestasi 14%, MIND ID tak cukup kuat untuk menjadi pengendali karena hanya menguasai saham Vale sebesar 34%. Perusahaan pelat merah itu berencana meningkatkan kepemilikannya menjadi 40%.
Selain MIND ID, terdapat nama lain yang disebut turut berkompetisi membeli saham Vale, selain pemerintah Indonesia. Mereka adalah konsorsium investor asal Arab Saudi yaitu PIF, Mitsui & Co., dan Qatar Investment Authority.
PIF sudah memasukkan penawaran senilai US$ 2,5 miliar atau setara Rp 37,4 triliun. Seluruh dana ini disiapkan untuk mengakuisisi 10% saham Vale untuk unit logam dasar. “Terkait divestasi, yang bernegosiasi adalah MIND ID, Vale Canada, dan Sumitomo antar pemegang saham,” kata Direktur Keuangan Vale Indonesia Bernardus Irmanto.
Titik terang perkara divestasi saham ini mulai muncul pada bulan November ini. Sejumlah petinggi negara melakukan pertemuan terkait ini.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengundang sejumlah menteri Kabinet Indonesia Maju untuk membahas kelanjutan rencana divestasi saham Vale Indonesia di Istana Merdeka Jakarta pada Rabu (8/11).
Terpantau menteri yang hadir dalam rapat internal itu adalah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dan Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo.
Hingga akhirnya Menteri ESDM Arifin Tasrif dan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia mengatakan bahwa Vale kembali melepas 14% saham mereka ke MIND ID. Kini perusahaan pelat merah tersebut memegang 34% saham Vale.
Operasional Tambang Vale
Melansir laporan keuangan perusahaan, PT Vale Indonesia Tbk merupakan perusahaan yang berdiri sejak 25 Juli 1968 dengan akta Nomor 49 tanggal 25 Juli 1968, yang dibuat dihadapan Eliza Pondaag, notaris publik di Jakarta. Vale Indonesia merupakan anak perusahaan dari Vale Canada Limited, sebuah perusahaan yang didirikan berdasarkan hukum Republik Federal Brasil.
Tidak terbatas pada pertambangan bijih nikel, Vale juga mencakup usaha penambangan dan pengolahan bijih nikel. Perseroan memulai kegiatan komersialnya pada tahun 1978.
Pengoperasian tambang mereka di Sulawesi berdasarkan Kontrak Karya yang ditandatangani pada 27 Juli 1968 antara Pemerintah Republik Indonesia dan Perseroan. Kontrak ini kemudian diubah dan diperpanjang pada 15 Januari 1996, dan terakhir diamandemen pada 17 Oktober 2014 sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang Pertambangan 2009.
Meski polemik divestasi saham terus bergulir, Vale tetap menjalankan kegiatan produksinya. Presiden Direktur Vale Indonesia Febriany Eddy menyampaikan salah satu kegiatan usaha yang dilakukan adalah eksplorasi tambang di salah satu kawasannya di Sulawesi Selatan, yakni Sorowako-Towuti.
Berdasarkan paparan Vale Indonesia, luas blok Sorowako-Towuti mencapai 70.566 hektare. Secara total, Vale Indonesia memiliki luas lahan tambang hingga 118.017 hektare. Total cadangan nikel di seluruh kawasan tambang Vale Indonesia diperkirakan sejumlah 112,55 juta ton dengan kualitas 1,72%.
Secara rinci, total cadangan terbukti senilai 65,68 juta ton, sedangkan yang terkira sekitar 46,87 juta ton.
Di samping eksplorasi, Febriany mengatakan konstruksi pabrik pengolahan atau smelter di Sulawesi Tengah terus berjalan. Bahan baku proses pembakaran smelter ini rencananya memakai gas bumi cair atau LNG.