Mengenang Peristiwa Malari 1974, Demonstrasi Besar Protes Orde Baru
Tanggal 15 Januari merupakan hari peringatan salah satu peristiwa kelam dalam sejarah Indonesia. Pada hari ini, terjadi Peristiwa Malari, yang merupakan akronom dari malapetaka 15 Januari.
Pada 15 Januari 1974, terjadi demonstrasi besar-besaran yang dilakukan oleh massa, yang terdiri dari aktivis dan mahasiswa memprotes kebijakan Orde Baru di bawah pemerintahan Presiden Soeharto. Aksi demonstrasi yang awalnya berlangsung damai tersebut, berubah menjadi kerusuhan besar di Jakarta.
Peristiwa Malari dilatar belakangi oleh ketidakpuasan para aktivis dan mahasiswa terhadap kebijakan pemerintahan Orde Baru, yang pro investasi asing. Apalagi, kebijakan lunak terhadap pemodal asing, terutama dari Jepang, dinilai lebih banyak dinikmati para pengusaha dan kalangan di lingkaran Orde Baru.
Latar Belakang Peristiwa Malari 1974
Peristiwa Malari tidak muncul begitu saja, karena dipicu oleh ketidakpuasan mahasiswa sejak awal 1970. Para aktivis dan mahasiswa di Indonesia menilai kebijakan pemerintah Orde Baru lebih menguntungkan para pengusaha dan lingkaran kekuasaan daripada kepentingan rakyat umum.
Mengutip Tempo, Peristiwa Malari dapat dilihat dari dua sudut pandang. Pertama, sebagai bentuk demonstrasi mahasiswa menentang modal asing, terutama Jepang. Kedua, bentuk ketidaksenangan kaum intelektual terhadap Asisten Pribadi atau Aspri Presiden Soeharto, yaitu Ali Moertopo dan Soedjono Humardani.
Awal 1970-an, Indonesia mengalami sejumlah aksi protes terhadap investasi Jepang. Protes ini terutama terfokus pada proyek-proyek industri besar yang melibatkan perusahaan-perusahaan Jepang di Indonesia. Beberapa faktor dan isu yang menyebabkan aksi protes tersebut, antara lain:
1. Ketidakpuasan terhadap Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Ketidaksetaraan
Protes terhadap investasi Jepang kerap dikaitkan dengan ketidakpuasan terhadap cara pemerintah Indonesia dan perusahaan Jepang mengelola sumber daya alam.
Beberapa proyek industri besar, terutama dalam sektor pertambangan dan perkebunan, dianggap merugikan lingkungan dan merampas hak-hak tanah dari masyarakat lokal.
Protes juga muncul karena terdapat ketidaksetaraan dalam pembagian hasil ekonomi. Aktivis menilai bahwa investasi asing lebih mendukung kepentingan korporasi dan pemerintahan Orde Baru daripada kepentingan rakyat.
2. Kondisi Kerja dan Hak Pekerja
Aksi protes juga mencakup isu-isu terkait kondisi kerja di perusahaan-perusahaan Jepang. Pekerja sering kali mengeluhkan upah rendah, kondisi kerja yang buruk, dan kurangnya perlindungan terhadap hak-hak pekerja.
3. Imperialisme Ekonomi
Sebagian aktivis dan mahasiswa melihat investasi Jepang sebagai bentuk imperialisme ekonomi, dimana perusahaan Jepang dianggap memanfaatkan ekonomi Indonesia untuk kepentingan mereka sendiri.
4. Ketergantungan Ekonomi
Penentangan terhadap investasi asing, termasuk di dalamnya dari Jepang, juga berkaitan dengan keprihatinan terhadap ketergantungan ekonomi Indonesia pada modal asing. Para aktivis merasa bahwa Indonesia seharusnya memiliki kontrol lebih besar terhadap ekonominya sendiri, tanpa terlalu tergantung pada modal asing.
Aksi protes juga mencerminkan kritik terhadap kebijakan pemerintah Indonesia yang dianggap terlalu bersahabat dengan perusahaan-perusahaan asing, termasuk perusahaan Jepang. Presiden Soeharto dinilai terlalu mendukung investasi asing, tanpa memperhatikan kepentingan rakyat.
Meletusnya Peristiwa Malari
Paristiwa Malari dipicu oleh penolakan para aktivis dan mahasiswa terhadap kunjungan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka pada 14 Januari 1974. Sebelumnya, pada 11 Januari, Presiden Soeharto menerima delegasi Dewan-Dewan Mahasiswa.
Para perwakilan mahasiswa menyampaikan kecaman dan mempertanyakan kewibawaan presiden, yang dirongrong tingkah laku para pemimpin yang memperkaya diri. Mereka menilai operasi khusus atau opsus yang dipimpin Ali Moertopo memiliki kekuasaan yang terlampau besar melebihi pemerintah dan parlemen.
"Penyambutan" Perdana Menteri Tanaka yang Gagal
Pertemuan antara delegasi mahasiswa dan Presiden Suharto tersebut tidak menghasilkan apa-apa. Kemudian mahasiswa melalui sebuah Apel Siaga Mahasiswa di kampus Universitas Kristen Indonesia pada 12 Januari 1974 mengajak masyarakat untuk menyambut Perdana Menteri Jepang dengan gerakan aksi.
Saat itu, Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia (DM-UI) Hariman Siregar mengatakan, akan ada gerakan penyambutan Perdana Menteri Tanaka untuk memberitahu dunia bahwa bangsa Indonesia masih memiliki harga diri bangsa dan masih banyak masyarakat yang tidak bisa dibeli dengan harta benda.
Pernyataan tersebut kemudian menjadi pembuka gerakan demonstrasi mahasiswa menyambut Tanaka pada 14 Januari 1974. Hal ini kemudian diwujudkan dengan demonstrasi besar-besaran pada tanggal yang ditentukan, sebagai protes atas kedatangan Perdana Menteri Jepang di bandara Halim Perdanakusuma.
Meski demikian demonstrasi tersebut gagal mencapai tujuannya, karena militer sigap menghadang para pengunjuk rasa. Selain itu, Presiden Soeharto telah mengantisipasinya, dengan mengirimkan helikopter untuk menjemput Perdana Menteri Tanaka
Mahasiswa dalam hal ini juga tidak lagi mengindahkan peringatan Laksamana Sudomo dan Menteri Pertahanan M. Panggabean, yang mulai menyinggung gerakan mahasiswa sebagai sesuatu yang tidak murni dan mengarah pada makar.
Aksi mahasiswa yang selama ini menjadi kekuatan moral untuk melakukan kontrol dan kritik, semakin "berisik" dan agresif. Apalagi setelah kontak antara mahasiswa demonstran dengan Perdana Menteri Tanaka tidak bisa terjadi karena pengawalan berlapis dari aparat keamanan.
Peristiwa Malari Meletus
Pada 15 Januari 1974 mahasiswa kembali turun ke jalan, untuk menuntut ketidaksetaraan penanaman modal asing yang menguntungkan kelompok tertentu, pemberantasan korupsi, dan tingginya harga kebutuhan pokok. Selain tiga tuntutan tersebut, mahasiswa juga menuntut dibubarkannya Aspri Presiden Soeharto.
Sesuai rencana, massa yang telah dikoordinasi akan berkumpul di lapangan Monas. Massa pimpinan Bambang Sulistomo dan Theo Sambuaga berkumpul dulu di halaman UI sekitar pukul pada pagi hari, sebelum bergerak ke titik awal aksi di Universitas Trisakti.
Namun, dalam perjalanan semakin lama massa makin bertambah oleh bergabungnya massa yang telah menunggu di jalanan antara Salemba-Grogol. Massa kemudian berpencar menjadi dua bagian besar, sebagian menuju lapangan Monas dan sebagian lainnya menuju Trisakti.
"Sulit bagi koordinator lapangan untuk mengidentifikasi mana mahasiswa yang telah memiliki kesepakatan koordinasi dan masa non-mahasiswa yang ikut tergabung tanpa mengetahui seluruh rencana," tulis Eep Saefullah Fatah dalam 'Konflik, Manipulasi dan Kebangkrutan Orde Baru Manajemen Konflik, Malari, Petisi 50 dan Tanjung Priok'.
Masa yang berkumpul di Universitas Trisakti akhirnya bergerak menuju di lapangan Monas dan daerah seputar istana, untuk menyampaikan tuntutan. Namun, kondisi pada akhirnya berubah menjadi chaos.
Massa, entah dari kalangan mahasiswa koordinasi atau bukan, kemudian bertindak anarkis. Melihat hal ini Bambang Sulistomo dan Theo Sambuaga tak mampu berbuat banyak. Mereka hanya bisa mengingatkan agar mahasiswa tak melakukan pengrusakan.
Kerusuhan semakin melebar dengan aksi gabungan antara mahasiswa dan masyarakat. Pengrusakan dan pembakaran dilakukan utamanya menyasar kendaraan buatan Jepang. Kantor Astra yang dikenal sebagai importir kendaraan Jepang juga diamuk massa. Menjelang sore, kerusuhan semakin meluas hingga Pasar Senen. Pusat pertokoan terbesar di Jakarta saat itu dirusak dan dijarah.
Hingga kerusuhan mereda pada 16 Januari 1974, tercatat 11 orang meninggal, 177 mengalami luka berat, 120 luka ringan dan 755 orang ditahan. Sementara itu 807 mobil dan 187 sepeda motor rusak atau dibakar, 144 bangunan dan 1 pabrik rusak atau terbakar, serta sejumlah 160 kg emas hilang dijarah.
Dampak Peristiwa Malari
Pasca-Peristiwa Malari, aparat keamanan menyebut mahasiswa sebagai dalang di balik kerusuhan tersebut. Namun, mahasiswa menyanggahnya, serta menyebut aksi yang dilakukan dari Salemba ke Grogol berlangsung damai.
Setelah kerusuhan, Presiden Soeharto mengambil langkah dengan mencopot Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Jenderal Soemitro Sastrodihardjo. Ia dianggap bertanggung jawab terjadinya kerusuhan dan korban tewas.
Tak hanya Soemitro, Presiden Soeharto juga mencopot Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) Sutopo Juwono, yang digantikan oleh Yoga Soegomo.
Sementara, Ketua DM-UI Hariman Siregar, yang saat itu menjadi penggerak demonstrasi mahasiswa, dinyatakan bersalah oleh pemerintah dan dijatuhi hukuman penjara selama enam tahun.
Pasca-Malari, pemerintah kemudian meningkatkan pengawasan dan kontrol terhadap aktivitas mahasiswa, kelompok oposisi, dan media massa. Kebijakan ini bertujuan untuk mencegah terjadinya unjuk rasa dan perlawanan terhadap pemerintah.
Meskipun peristiwa Malari sendiri tidak mengubah rezim Orde Baru, namun mempengaruhi dinamika politik dan sosial di Indonesia. Kritik terhadap kebijakan pemerintah menjadi lebih terbuka, dan munculnya kesadaran politik di kalangan mahasiswa dan aktivis.
Peristiwa Malari, meski tidak berhasil menggulingkan pemerintahan Orde Baru, tetapi membuka jalan bagi pergeseran dalam dinamika politik dan sosial di Indonesia. Dampaknya terus dirasakan dalam perkembangan sejarah politik Indonesia selanjutnya, hingga aksi mahasiswa skala besar berikutnya terjadi pada 1998 yang kemudian berujung pada jatuhnya Orde Baru.