Sejarah Lembaga Bea Cukai di Indonesia, Sempat Dibekukan Orde Baru
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau DJBC menjadi salah satu trending topic di media sosial beberapa hari terakhir. Setidaknya ada tiga kasus viral yang menyorot lembaga bea cukai Indonesia ini.
Pertama, kasus sepatu impor seharga Rp 10,3 juta yang terkena tagihan pajak dan denda sebesar Rp 31,81 juta. Kedua, kasus pembelian barang impor berupa action figure seharga US$ 899 yang tertahan di bea cukai dan terkena denda US$ 1.699.
Ketiga, kasus tertahannya barang hibah untuk Sekolah Luar Biasa (SLB). Barang tersebut tertahan di Bea Cukai sejak tiba di Indonesia, dari Korea Selatan, pada 18 Desember 2022. DJBC beralasan, ada dokumen tambahan yang diperlukan untuk pemrosesan barang dan penetapan harga barang, termasuk link pemesanan terkait harga, spesifikasi, dan deskripsi per item.
DJBC akhirnya membebaskan bea masuk, serta menyerahkan bantuan alat belajar yang merupakan hibah dari perusahaan OHFA Tech Korea Selatan kepada SLB-A Pembina Tingkat Nasional.
Sejarah Lembaga Bea Cukai di Indonesia
Sejak lama pemungutan bea dan cukai, atau biasa disebut bea cukai, telah diterapkan di banyak negara, termasuk Indonesia. Bahkan, ketika negara ini masih berbentuk kerajaan, dan berada di bawah kekuasaan kolonial. Di pelabuhan-pelabuhan Sumatra dan Jawa misalnya, biasanya terdapat syahbandar yang menangani bea cukai dan dikepalai seorang pejabat tumenggung.
Ketika perusahaan dagang Hindia Timur atau vereenigde oostindische compagnie (VOC) memonopoli perdagangan, pungutan ekspor-impor dikenal dengan nama "tarif tol". Sementara, pada masa pendudukan Inggris, pungutan atas keluar masuk barang disebut "sewa boom".
Ini menunjukkan, bahwa sejak lama pengaturan bea cukai sudah menjadi perhatian yang serius. Pemungutan cukai tidak hanya dilakukan demi meningkatkan penerimaan negara, namun memiliki tujuan khusus dalam pemungutannya.
Pengaturan atas pungutan bea cukai ini sejak lama diserahkan pada satu lembaga khusus. Saat ini, pengaturannya diserahkan pada DJBC. Namun, keberadaan lembaga bea cukai telah ada di Nusantara sejak lama.
Lembaga Bea Cukai Era Kolonial
Pada masa kolonial, lembaga yang bertugas memungut bea untuk ekspor dan impor di Hindia Belanda adalah, Dienst der In-en Uitvoerrechten en Accijnzen, yang jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia adalah, Jawatan Bea Cukai.
Salah satu aturan yang melandasi lembaga bea cukai pemerintah kolonial ini, adalah Gouvernements Besluit 33/1928, yang berisi tentang pembentukan organisasi bea cukai, atau Dienst Douane en Accijnzen.
Tugas lembaga ini, adalah memungut invoer-rechten atau bea impor, uitvoer-rechten atau bea ekspor, dan accijnzen atau cukai. Dalam perjalannya, keberadaan lembaga bea cukai pemerintah kolonial ini diperkuat dengan keputusan pemerintah pada 1 Juni 1934.
Sebelumnya pemerintah kolonial Hindia Belanda telah menerbitkan beberapa aturan bea dan cukai. Aturan perundang-undangan mengenai kepabeanan terwujud dengan dikeluarkannya Indische Tarief Wet, atau Undang-undang (UU) tarif, yakni Staatsblad 35/1873.
UU mengenai kepabeanan ini, diperkuat dengan aturan teknis, yakni Rechten Ordonnantie atau ordonansi bea, melalui Staatsblad 240/1882, serta Tarief Ordonnantie, atau ordonansi tarif, melalui Staatsblad 628/1910.
Sementara, pungutan atas cukai dimulai dari pemungutan atas komoditas minyak tanah, melalui Staatsblad 249/1886. Lalu, secara berturut-turut aturan pemungutan cukai diberlakukan terhadap komoditas lain, seperti alkohol sulingan (1898), bir (1931), tembakau (1932), dan gula (1933).
Keberadaan lembaga bea cukai bentukan pemerintah kolonial Hindia Belanda ini berakhir pada masa pendudukan Jepang. Saat itu, pemungutan atas bea dihentikan melalui dikeluarkannya UU Nomor 13 tahun 1942. Meski demikian, cukai tetap diberlakukan, untuk tembakau dan minuman keras.
Pasca-Kemerdekaan: Membangun Kembali Organisasi Bea Cukai
Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, pemerintah saat itu belum langsung membentuk organisasi atau lembaga yang mengurus soal bea dan cukai. Keberadaan lembaga bea cukai ini bahkan belum masuk dalam struktur Kementerian Keuangan yang berdiri pada 19 Agustus 1945.
Pasalnya, keadaan Republik saat itu masih genting, di mana Indonesia baru dua hari menyatakan kemerdekaan. Kondisi Kementerian Keuangan sendiri, saat itu belum memungkinkan untuk menyusun stuktur organisasi beserta cara kerjanya, termasuk bagian bea dan cukai.
Lembaga yang mengurus soal bea dan cukai milik Republik Indonesia, baru dibentuk pada 1 Oktober 1946, dengan nama Pejabatan Bea dan Cukai. Kepala Pejabatan Bea dan Cukai yang pertama adalah, Raden Abdoerachim Kartadjoemena atau kerap disebut R.A Kartadjoemena, yang dianggap sebagai pilihan yang paling tepat saat itu, meski berusia 31 tahun.
R.A Kartadjoemena merupakan lulusan sekolah hukum pada 1940, dan pernah menjabat beberapa posisi strategis, antara lain Staf Stadsgemeente Jakarta, Aspiran Wakil Inspektur Keuangan Magelang, Kepala Kantor Penetapan Pajak Semarang, serta Soeperintenden Kantor Lelang Negeri Semarang dan Pati-Ayu.
Sementara, peraturan mengenai pungutan bea dan cukai menggunakan aturan warisan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Ini sesuai dengan Pasal II Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945, dengan tetap melakukan perubahan dan penambahan sesuai tuntutan zaman.
Pejabatan Bea dan Cukai sempat pindah dari Jakarta, menyusul kepindahan ibu kota negara ke Yogyakarta. Namun, lembaga bea cukai ini bermarkas di Magelang.
Saat itu organisasi Pejabatan Bea dan Cukai masih meneruskan bentuk organisasi Dienst der In-en Uitvoerrechten en Accijnzen. Hal pertama yang dilakukan, adalah mengaktifkan kantor-kantor daerah dan cabang.
Kantor-kantor bea dan cukai ini tersebar di Yogyakarta, Surakarta, Cirebon, Pekalongan, Blitar, Magelang, Kebumen, Kudus, Madiun, Bojonegoro, Tuban, dan Kediri. Wilayah kerja Pejabatan Bea dan Cukai saat itu masih terbatas, karena sebagian wilayah Indonesia diduduki Belanda melalui serangkaian aksi militer.
Pada 1948, Pejabatan Bea dan Cukai berubah nama menjadi Jawatan Bea dan Cukai, yang bertahan hingga 1965. Perubahan ini merupakan bagian dari dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 tahun 1948, yang mengatur kembali susunan Kementerian Keuangan dan mengubah nomenklatur pejabatan menjadi Jawatan.
1950-1967: Penataan Organisasi Bea Cukai Indonesia
Pasca-pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Kerajaan Belanda, dan dibentuknya Republik Indonesia Serikat (RIS), Jawatan Bea dan Cukai kembali ke Jakarta.
Kemudian, kantor-kantor Bea dan Cukai di Jakarta, Surabaya, Semarang, Medan, Palembang, Banjarmasin, Makassar, Manado dan Balikpapan diaktifkan kembali, dan berkembang pesat.
Melalui Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Serikat Nomor 62 tahun 1950, Kartadjoemena ditunjuk sebagai Direktur Jenderal Iuran Negara merangkap sebagai kepala Jawatan Bea dan Cukai.
Pada 29 Agustus 1950, jabatan itu diserahkan kepada G.J.E. Tapiheroe. Sejak September 1950, Tapiheroe didampingi oleh A.M. Slawat sebagai Kepala Muda Jawatan Bea dan Cukai.
Struktur organisasi Jawatan Bea dan Cukai pasca-pengakuan kedaulatan masih menggunakan bentuk Dienst der In-en Uitvoerrechten en Accijnzen. masih berlaku hingga 1960 dengan beberapa pengembangan.
Pengembangan yang dimaksud, antara lain pembentukan beberapa unit-unit kerja seperti biro dan bagian/seksi/umum. Sementara, tugas, fungsi, serta wewenang pejabat bea dan cukai diperluas.
Pada periode ini, Jawatan Bea dan Cukai mulai menempatkan perwakilan di luar negeri, yaitu di Singapura. Pejabat-pejabat Bea dan Cukai yang ditempatkan di luar negeri ini, berkantor di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI).
Tugas perwakilan Jawatan Bea dan Cukai di luar negeri, adalah untuk memantau perdagangan dan/atau barter, memantau lalu lintas devisa, penandasan consulair invoice, yakni faktur yang dikeluarkan oleh kedutaan atau konsulat, serta menyampaikan informasi terkait ekspor dan impor.
Perwakilan Jawatan Bea dan Cukai di luar negeri ini, sempat pindah ke Hong Kong. Perpindahan disebabkan karena, pada 1962 Indonesia mengeluarkan kampanye konfrontasi Indonesia dengan negara-negara bentukan Inggris.
Selain urusan kepabeanan dan cukai, Atase Bea dan Cukai Hongkong bertugas menghimpun informasi soal perpajakan, pasar modal, moneter, dan perbankan, serta berkoordinasi dengan instansi intel dan narkotika.
Pada 30 Maret 1965, Padang Soedirjo ditunjuk sebagai Direktur Jenderal Bea dan Cukai. Tahun ini, menandai penyempurnaan Jawatan Bea dan Cukai menjadi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Keberadaan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sempat tidak jelas. Sebab, tanpa alasan yang jelas, pada 1966 statusnya diturunkan dan berada di bawah Direktorat Jenderal Pajak. Namun, perubahan status ini tidak bertahan lama, sebab di tahun yang sama status Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dipulihkan.
Pada 1967, dibentuk Percetakan Pita Cukai Bhineka Tjarakan melalui Keputusan Menteri Keuangan No. Kep. 207/Men.Keu/67. Percetakan ini bertugas menyediakan pita-pita cukai, terutama untuk hasil tembakau. Lalu, memproduksi barang cetakan lainnya, selama tidak menghambat tugas pokoknya.
Sempat Dibekukan karena Banyak Penyelewengan
Perjalanan lembaga bea dan cukai Indonesia tidaklah mulus dan bersih dari penyelewengan. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai bahkan pernah dibekukan pada masa pemerintahan Presiden Soeharto. Penyebabnya adalah, banyaknya penyelewengan di tubuh instansi ini.
Penyelewengan yang terjadi sedemikian buruk, hingga pemerintah pada 1985 mengalihkan sebagian peran pengurusan bea dan cukai ke pihak swasta.
Identifikasi adanya penyelewengan di tubuh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mencuat pada 1968-1969. Jurnalis Mochtar Lubis sempat mencatat, adanya pengenaan "denda damai", yang merupakan pola kerja yang lazim antara petugas bea dan cukai dengan importir.
Menindaklanjuti kabar penyelewengan yang terjadi di lembaga bea cukai ini, pada 1971 Menteri Keuangan Ali Wardhana melakukan inspeksi mendadak. Saat itu, ia mendapati para petugas bersantai-santai, bukannya memberi pelayanan seperti seharusnya. Ia pun geram usai mendengar kabar suram tentang usaha penyelundupan ratusan ribu baterai merk terkenal.
Kegeraman Ali Wardhana ini beralasan, sebab sebelumnya ia baru saja memberikan tunjangan khusus sebesar sembilan kali gaji. Kenaikan tersebut bukan sembarang hadiah, melainkan disertai tuntutan perbaikan pelayanan dan peniadaan penyelewengan.
Peringatan kepada Bea dan Cukai tak sekali dua kali disampaikan Ali Wardhana. Ia sempat memberikan teguran lisan di depan forum Konferensi Kerja Para Kepala Inspektorat dan Inspeksi Bea dan Cukai.
Saat itu, Menteri Keuangan menyatakan tak segan mengadakan tindakan perbaikan dalam tubuh Bea dan Cukai. Ia pun menekankan agar segala bentuk penyelewengan dan penyelundupan tidak terulang lagi.
Gebrakan lain yang dilakukan untuk meredam tindak kecurangan di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, adalah penerapan mutasi pejabat antar unit eselon I.
Pada 1978, Ali Wardhana merealisasikan langkahnya, dengan beberapa kali mengganti Direktur Cukai dengan pejabat dari unit eselon I lain. Namun, hal tersebut ternyata tak kunjung efektif meningkatkan kinerja Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Keberadaan benalu dalam tubuh lembaga bea cukai ini terus ada, bahkan saat Menteri Keuangan dijabat oleh Radius Prawiro, dan Ali Wardhana menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, Industri, dan Pengawasan Pembangunan pada 1983.
Padahal pada 1983, Menteri Keuangan Radius Prawiro mengangkat Bambang Soejarto, seorang perwira tinggi Departemen Pertahanan dan Keamanan (Hankam), sebagai Direktur Jenderal Bea dan Cukai. Namun, sosok perwira Hankam pun tidak mampu meredam praktik-praktik penyelewengan di tubuh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Hingga akhirnya pada 1985, Ali Wardhana membuat gebrakan besar, dengan mengusulkan penutupan/pembekuan lembaga bea cukai ini kepada Presiden Soeharto.
Usulan tersebut, kemudian dibahas dalam rapat kabinet terbatas yang dipimpin Presiden Soeharto, yang kemudian melahirkan Instruksi Presiden Nomor 4 tahun 1985 tentang Kebijaksanaan Kelancaran Arus Barang Untuk Menunjang Kegiatan Ekonomi.
Melalui Inpres ini, sebagian peran Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dibekukan, dan dialihkan ke lembaga swasta asing, yakni Société Générale de Surveillance (SGS), yang berasal dari Swiss.
Untuk meredam praktik penyelewengan, pemerintah memberikan wewenang kepada SGS untuk mengeluarkan Laporan Kebenaran Pemeriksaan (LKP). Laporan ini mencakup kebenaran akan jenis dan mutu barang, volume, harga, biaya angkutan, nomor pos tarif, serta tarif bea masuk dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Sementara, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai hanya melakukan pengecekan saja.
Ini sesuai dengan yang tercantum dalam lampiran Inpres 4/1985 tentang Tata Laksana Impor. Aturan tersebut menyebutkan, bahwa barang-barang impor hanya dapat dimasukkan ke wilayah pabean Indonesia apabila ada LKP yang diterbitkan oleh surveyor yang ditetapkan pemerintah, dalam hal ini SGS.
LKP ibaratnya menjadi "surat sakti" untuk melakukan impor, di mana importir memberitahukan eksportir dan SGS tentang kewajiban pemeriksaan atas barang-barang yang akan diimpor. SGS kemudian akan memeriksa dan membuat LKP, kemudian menyerahkan laporan tersebut kepada bank devisa.
Bank devisa kemudian akan memeriksa kebenaran perhitungan bea masuk dan PPN berdasarkan LKP dan menyerahkan bill of landing (BL) dan LKP kepada importir, setelah yang bersangkutan melunasi bea masuk dan PPN kepada bank.
Kemudian, dibuat Pemberitahuan Pemasukan Barang Untuk Dipakai (PPUD) yang disederhanakan. Berbekal PPUD, BL, dan LKP, serta bukti pembayaran bea masuk, importir mengurus pengeluaran barang dari pelabuhan.
Terhadap barang yang telah dilengkapi dengan PPUD, BL, LKP dan bukti pembayaran bea masuk, maka Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tidak melakukan pemeriksaan barang, serta tidak melakukan perhitungan dan pembayaran bea masuk. Melainkan hanya memberikan persetujuan pengeluaran barang dari pelabuhan.
Nyata sekali, bahwa peran Direktorat Jenderal Bea dan Cukai saat itu "dipreteli". Sebab, instansi ini hanya berfungsi mengecek keaslian dokumen, serta mengecek importir telah memenuhi persyaratan yang ditentukan.
Terobosan fenomenal ini menjadikan prosedur ekspor-impor menjadi lebih mudah, menurunkan biaya logistik, dan meningkatkan penerimaan dari sektor kepabeanan dan cukai secara signifikan. Di saat yang sama, dilakukan pembenahan menyeluruh terhadap Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, agar bisa kembali dipercaya menjalankan tugasnya.
Butuh kurang lebih 10 tahun hingga kewenangan urusan kepabeanan dan cukai kemudian dikembalikan sepenuhnya kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Pengembalian wewenang ini dilakukan seiring dikeluarkannya UU Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan, yang diberlakukan secara efektif pada 1 April 1997.
UU 10/1995 juga memberikan kewenangan lebih besar kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sesuai dengan lingkup tugas dan fungsi yang diembannya. Ditetapkannya UU ini, disusul dengan UU Nomor 11 tahun 1995 tentang Cukai, menjadi penanda produk hukum kolonial tidak berlaku lagi.