Pandemi Corona Dinilai Momentum Tepat untuk Menerapkan Pajak Karbon
Pandemi corona menyebabkan penggunaan Bahan Bakar Minyak atau BBM turun drastis. Hal ini pun membuat udara lebih bersih karena minim polusi.
Untuk mempertahankan kualitas udara tersebut, Guru Besar Teknik Perminyakan ITB Tutuka Ariadji mengusulkan agar pemerintah memberlakukan pajak karbon (carbon tax). "Tantangan baru industri migas yaitu green economy dan menjauh dari energi fosil," ujar Tutuka dalam diskusi virtual pada Kamis (4/6).
Di samping mengurangi polusi udara, pemberlakuan pajak karbon bisa menambah penerimaan negara. Pemerintah juga bisa memenuhi komitmennya dalam Perjanjian Paris untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.
"Karena langit biru tadi susah didapatkan itu bisa jadi motivasi bagi pemerintah. Di lain tempat tumbuh juga mobil listrik," ujarnya.
(Baca: DPR Desak Pemerintah Capai Target Bauran Energi 23% Meski Ada Pandemi)
(Baca: Jakarta Lakukan PSBB Atasi Covid-19, Ini Dampaknya ke Polusi Udara)
Lebih lanjut, dia mengatakan, penerapan pajak karbon dinilai sangat penting untuk diterapkan saat ini. Sebab, kualitas udara di Indonesia semakin buruk.
Dalam data IQAir pada Februari 2020, Tangerang Selatan berada di urutan pertama 10 kota dengan kualitas udara terburuk di Asia Tenggara. Konsentrasi PM2,5 kota di Banten itu mencapai 81,3 mikrogram per meter kubik, yang bisa menimbulkan efek samping atau memperburuk kondisi jantung dan paru-paru.
Setelah Tangerang Selatan, peringkat lima besar masih diisi oleh Indonesia. Kota-kota tersebut ialah Bekasi (62,6 mikrogram per meter kubik), Pekanbaru (52,8), Pontianak (49,7), dan Jakarta (49,4).
Talawi dan Surabaya juga muncul di peringkat tujuh dan sepuluh. Sedangkan Hanoi di Vietnam serta Nakhon Ratchasima dan Saraphi di Thailand mencatatkan konsentrasi PM2,5 di kisaran 40 mikrogram per meter kubik. Kualitas udara ini berisiko menimbulkan iritasi dan masalah pernafasan.