Penjamin Efek Harus Serap Saham yang Tidak Laku Lewat E-Book Building
Bursa Efek Indonesia (BEI) memperkirakan risiko-risiko saat pelaksanaan penawaran saham perdana atau initial public offering (IPO) tetap ada untuk perusahaan penjamin efek (underwriter), meski sudah diterapkan pembukuan secara elektronik (e-book building). E-book building rencananya akan diterapkan pada pertengahan tahun ini.
Direktur Penilaian Perusahaan BEI I Gede Nyoman Yetna mengatakan, risiko tidak terserapnya saham pada masa penawaran tetap ada. Tidak terserapnya saham tersebut menjadi tanggung jawab underwriter, sehingga mereka harus menyerap sahamnya jika perjanjiannya komitmen penuh.
"Investor ritel saat arah ke offering sudah harus menyiapkan dana, dan pihak underwriter memastikan uangnya sudah masuk atau belum," kata Nyoman di Gedung BEI, Jakarta, Kamis (17/1).
Dalam draft Surat Edaran (SE) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tentang pelaksanaan e-book building, alokasi saham (pulling allotment) untuk investor ritel akan bertambah dari yang saat ini di kisaran 1% saja. Misalnya, untuk nilai penawaran setara atau di bawah Rp 100 miliar, alokasi saham untuk investor ritel mencapai 15%.
(Baca: Bursa Indonesia Siapkan Sistem Penawaran Saham Perdana secara Online)
Dengan demikian, risiko saham yang tidak terserap oleh investor ritel pada saat masa penawaran menjadi makin besar. Sehingga tanggung jawab underwriter makin besar dalam menalangi dana yang tidak terserap oleh investor ritel tersebut.
“Mereka harus memitigasi, setiap tahapan pasti ada risiko, konsekuensi mereka saat menjadi underwriter. Kalau tidak laku memang biasanya mereka yang menyerap,” ujar Nyoman menambahkan.
Nyoman juga menekankan, setiap underwriter sudah mengetahui risiko tersebut meski ada penerapan e-book building. Menurutnya, hal tersebut merupakan tanggung jawab bersama dan sudah menjadi konsekuensi underwriter saat menjalankan tugasnya.
Kendati demikian, BEI terus berdiskusi dengan OJK mengenai rancangan peraturan terkait dengan penerapan e-book building ini. Selain itu, Self Regulatory Organization (SRO) pasar modal terus mengadakan pertemuan dengan pihak underwriter untuk mengumpulkan pendapatan soal berbagai kekhawatiran tersebut.
Selain itu, SRO pasar modal juga masih menunggu peran mereka terhadap penerapan e-book building dari OJK. Namun, pengembangan infrastruktur peraturan dan pengembangan aplikasi menjadi tanggung jawab SRO pasar modal bersama dengan OJK.
"Untuk menerapkan pengembangan dan maintanance aplikasi e-book building, kami tunggu kewenangan dari OJK. Tapi tentu akan ada fungsi pengawasan (dari SRO pasar modal)," kata Nyoman.
(Baca: Banyak Saham Murah, Otoritas Bursa Batal Pangkas Ukuran Satuan Lot)