Emiten-emiten yang Terancam Dicoret dari Bursa Saham
Sepanjang tahun ini, PT Bursa Efek Indonesia (BEI) telah mengumumkan lima perusahaan yang dihapus dari pencatatannya di bursa saham. Kelimanya adalah PT Borneo Lumbung Energi Tbk (BORN), PT Leo Investment Tbk (ITTG), PT Arpeni Pratama Ocean Line Tbk. (APOL), PT Danayasa Arthatama Tbk. (SCBD), dan PT Cakra Mineral Tbk. (CKRA).
Selain lima perusahaan yang sudah dicoret, BEI juga mengeluarkan pengumuman mengenai potensi delisting terhadap 30 perusahaan. Hingga kini, dari emiten-emiten tersebut masih ada yang dihentikan perdagangan sahamnya oleh bursa alias suspensi. Bahkan ada yang sudah lebih dari 24 bulan disuspensi. Emiten tersebut di antaranya PT Golden Energy Mines Tbk (GEMS) dan PT Tiga Pilar Sejahtera Tbk (AISA).
Bursa telah menghentikan perdagangan saham dan obligasi Tiga Pilar Sejahtera atau TPS Food sejak 5 Juli 2018. Suspensi ini dilakukan akibat penundaan pembayaran bunga atas obligasi dan sukuk ijarah TPS Food I tahun 2013. Penghentian perdagangan pun berlanjut, karena TPS Foods belum juga menyampaikan laporan keuangan 2018 dan belum membayar biaya pencatatan tahunan kepada Bursa Efek Indonesia (BEI). Februari 2019, BEI memutuskan perpanjangan suspensi karena TPS Foods belum juga menjalankan kewajiban melakukan paparan publik tahunan.
Sepanjang 2019, perdagangan saham TPS Food berhenti total. Bursa terus memberlakukan suspensi karena perseroan belum menyampaikan laporan keuangan dan denda tambahan akibat keterlambatan menyampaikan laporan keuangan sebelumnya sebesar Rp 150 juta.
Selama disuspensi, saham AISA bertengger di level Rp 168, dengan nilai kapitalisasi pasar Rp 804 miliar. Hingga lebih dari dua tahun saham TPS Foods tidak diperdagangkan, perusahaan tersebut masih tercatat di BEI. Ujungnya, pada 28 Agustus 2020, BEI mencabut suspensi.
Pencabutan suspensi ini dilakukan karena TPS Foods dianggap telah memenuhi seluruh kewajibannya sebagai perusahaan yang tercatat di BEI. Saham, obligasi dan sukuk TPS Foods pun sudah bisa kembali diperdagangkan mulai 31 Agustus 2020.
Emiten perdagangan besar berkapitalisasi 469 miliar ini mayoritas sahamnya dimiliki Natural Crystal Holding Inc. Sementara saham yang dimiliki masyarakat mencapai 40,52%. Bagi pihak-pihak yang berkepentingan terhadap Perseroan, dapat menghubungi Bapak Marlo Budiman selaku Sekretaris Perusahaan," kata Kepala Divisi Penilaian Perusahaan 3 BEI Natal Naibaho dalam pengumuman terkait potensi delisting Evergreen Invesco, Agustus lalu.
Emiten lain yang terancam delisting adalah PT Hanson International Tbk (MYRX), perusahaan milik terdakwa kasus Jiwasraya, Benny Tjokro. Akhir bulan lalu Hanson dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Manajemen masih mengupayakan jalan damai dengan kreditur.
Meski sudah ada beberapa emiten yang terkena suspensi hingga lebih dari dua tahun, tapi sahamnya masih tercatat di papan bursa. Menurut Direktur Utama Bursa Efek Indonesia Inarno Djajadi, tidak semua emiten yang telah disuspensi lebih dari dua tahun, dihapuskan pencatatan sahamnya di bursa. Tergantung niat baik dari emiten tersebut untuk memperbaiki dan memenuhi kewajibannya sebagai perusahaan yang tercatat di BEI.
“Kalau memang ada itikad dari issuer untuk memperbaiki, meski masih ada kendala teknis kecil-kecil, maka kami masih toleransi untuk nemberikan waktu lebih,” ujarnya kepada katadata.co.id, Rabu (23/9).
Perlindungan Investor
Head of Research Infovesta Utama Wawan Hendrayana mengatakan emiten yang terancam delisting menjadi tantangan yang sangat berat bagi investor yang memegang sahamnya. Dia menyarankan investor yang memegang saham ini sebaiknya dilepas meski dengan harga murah.
Menjual rugi saham dengan harga yang lebih rendah (cut loss) bisa dilakukan, ketimbang menunggu. Karena bisa jadi harga sahamnya akan turun terus hingga Rp 0. sebaiknya kalau memang masih bisa dilepas, dilepas saja. Karena kalau sudah delisting bisa jadi cuma jadi atas nama saja," ujarnya kepada Katadata.co.id, Rabu (23/9).
Saham perusahaan yang berpotensi delisting ini biasanya tidak diperdagangkan di bursa alias saham tidur. Namun, sebenarnya saham ini masih bisa diperdagangkan di pasar negosiasi dengan harga yang lebih murah. Wawan mencontohkan jika harga sahamnya di bursa mencapai Rp 50, di pasar negosiasi bisa setengahnya, Rp 20 atau Rp 25 per saham.
Memang ada harapan menunggu sampai perusahaan pailit alias bangkrut, aset perusahaan bisa dijual. Namun, uang hasil penjualannya belum tentu akan didapat investor. Pemegang saham baru akan bisa mendapat jatah dari hasil penjualan aset, setelah seluruh kewajiban perusahaan terbayar.
Terpaksa menjual rugi, menjadi salah satu alternatif yang bisa dilakukan investor yang dicoret paksa dari bursa saham. Karena belum ada aturan resmi dari otoritas pasar modal untuk perlindungan investor emiten yang delisting.
Bagi emiten yang melakukan delisting secara sukarela memang sudah ada jaminan bagi investor pemegang sahamnya. Bursa mewajibkan perusahaan tercatat untuk melakukan pembelian kembali (buy back) saham. Seluruh kewajiban penyampaian laporan serta keterbukaan informasi wajib disampaikan sebelum delisting berlaku efektif.
Berbeda dengan emiten yang didelisting secara paksa. Hingga kini, belum ada aturan dari otoritas pasar modal untuk perlindungan terhadap investornya. BEI hanya bisa mengumumkan kepada pemegang saham terkait emiten yang delisting dan yang berpotensi delisting.
Awal tahun ini sebenarnya Otoritas Jasa Keuangan sudah mewacanakan mengeluarkan peraturan untuk melindungi investor emiten delisting. Wacana ini terlihat dalam Rancangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (RPOJK) 04/2020 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Di Bidang Pasar Modal.
Pada pasal 69 ayat I draf RPOJK ini mengatur kewajiban emiten yang pencatatan efeknya dibatalkan oleh BEI melakukan pembelian kembali atas seluruh saham yang dimiliki oleh pemegang saham publik. Pemegang saham yang diwajibkan setidaknya paling banyak 50 pihak. Setelahnya, perusahaan tercatat bisa melakukan perubahan status dari perusahaan terbuka menjadi perseroan tertutup.